Apakah Kita Sudah Menghargai Sejarah…?
Nyo Lai Wa… Seorang Penguasa
Majapahit Keturunan China dan Fakta Runtuhnya Kerajaan Super Besar Kebanggaan
Rakyat Jawa Oleh Budaya Islam
Apabila kita
mengingat masa dimana kita masih duduk dibangku sekolah dahulu, pelajaran
sejarah terutama sejarah nasional teramat sangat pendek, dimulai dari zaman pra
sejarah kemudian zaman kerajaan
dilanjutkan dengan datangnya bangsa portugis selaku penjajah, bangsa
belanda, jepang dan kemudian masa revolusi bangsa ini menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sungguh teramat
pendek dan dangkal sekali, di sini terlihat sekali bahwa banyak fakta-fakta yang justru teramat
penting tetapi sengaja dikubur dan tidak di ungkapkan ke generasi selanjutnya. Banyak
alasan yang menyelimuti mengapa fakta ini tidak dan sengaja tak terungkapkan. Mulai
dari kekawatiran segelintir orang yang menyebut dirinya penguasa akan jatuhnya
reputasi dari faham yang mereka anut, sampai dengan pendapat akan satu hal “sebegitu
besarkah peran orang asing itu di negeri ini”..? pendapat-pendapat itu sungguh
naif apa bila kita pikir, suatu bangsa tidak mungkin akan tumbuh besar sendiri
tanpa pengaruh dari bangsa lain, pengaruh bangsa lain pun tidak selamanya akan
menguntunkan bagi suatu bangsa, bahkan bisa menghancurkan seperti kejadiar
ratusan tahun yang silam dimana kerajaan-kerajaan hindu budha yang teramat
masyur, salah satunya adalah kerajaan besar kebanggaan rakyat jawa yaitu
Majapahit yang hancur akibat ideology islam yang keras dan tidak cocok
diterapkan.
Berikut ini adalah
kisah yang bisa kita sebut fakta yang telah lama terpendam dan teronggok di
mana-mana ,…
Inilah
daftar Raja-Raja Majapahit sesuai penuturan Pararaton, Nagarakrêtagama dan
beberapa prasasti yang ditemukan serta Kronik Tionghwa, klenteng Sam Po Kong,
Semarang :
1.
Nararyya Sanggramawijaya mengambil abhiseka (gelar) Sri Krêtarajasa Jayawarddhana (1294-1309 M), wafat di Antahpura
2.
Sri Jayanagara mengambil abhiseka (gelar) Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara (1309-1328
M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Daha I. Dicandikan di Kapopongan, nama
candi Srênggapura. Arcanya dibangun di Antawulan.
3.
Rani Wijayatunggadewi
mengambil abhiseka (gelar) Tribhuwana Tunggadewi
Jayawisnuwarddhani (1328-1350
M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan I. Dicandikan di Panggih,
nama candi Giri
Pantarapura.
4.
Sri Hayam Wuruk mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasanagara Sang Hyang Wêkasing Sukha (1350-1389
M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan II.
5.
Aji Wikrama atau
Wikramawarddhana mengambil
abhiseka (gelar) Sri Hyang Wisesa,
Orang China mengenalnya sebagai Yang Wi Si Sa (1389-1427 M). Sebelumnya
menjabat sebagai Bhre
Mataram I. Wafat di Indrabhawana,
dicandikan di Tanjung, nama
candi Paramasukha
Pura
6.
Sri Ratu Prabhu Stri mengambil abhiseka (gelar) Rani Suhita. Orang China
mengenalnya dengan nama Su King Ta (1427-1447). Sebelumnya menjabat
sebagai Bhre
Pajang II
lalu Bhre
Daha IV. Dicandikan di Singajaya.
7.
Bhre Tumapel II dikenal
sebagai Krêtawijaya (1447-1451 M). Setelah beliau
wafat, candinya dinamakan Krêtawijaya
Pura
8.
Sri Krêtarajasa (atau mungkin Bhre Pamotan I
Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma) mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasawarddhana Sang Sinagara (1451-1453
M). Dicandikan di Sêpang.
Kemudian Negeri itu Kosong
selama tiga tahun.
9.
Bhre Wêngkêr II mengambil abhiseka
(gelar) Hyang Purwawisesa (1456-1466
M), dicandikan
di Puri
10.
Bhre Pandhan Salas III, dua
tahun menjadi Raja lantas meninggalkan istana (1466-1468 M)
11.
Sri Singawarddhana (1468-1474 M)
12.
Bhre Krêtabhumi. Orang
China mengenalnya dengan nama Kung Ta Bu Mi (1474-1478
M) Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kêling IV.
Wafat dimakamkan di pemakaman Tralaya.
Sepeninggal
Prabhu Hayam Wuruk pada tahun 1389 Masehi, tahta lantas diserahkan kepada Bhre
Mataram I atau Wikramawarddhana, menantu sekaligus kemenakan beliau.
Wikramawarddhana adalah putra tertua dari Bhre Pajang I atau Rajasadhuhiteswari,
adik kandung Prabhu Hayam Wuruk yang menikah dengan Raden Sumana atau Bhre
Paguhan I. Wikramawarddhana menikahi putri Prabhu Hayam Wuruk, Kusumawarddhani.
Dari
pernikahan tersebut, lahirlah Hyang Wekasing Sukha. Sedangkan dari selir,
Wikramawarddhana memiliki satu putri dan dua putra. Putri sulung bernama
Sri Ratu Prabhu Stri yang kelak terkenal dengan gelar Rani Suhita, kedua Bhre
Tumapel II yang kelak terkenal sebagai Krêtawijaya dan yang bungsu adalah Bhre
Tumapel III atau Sri Krêtarajasa.
Sepeninggal
Wikramawarddhana, tahta diserahkan kepada Sri Ratu Prabhu Stri pada tahun 1427
Masehi karena putra mahkota, Hyang Wekasing Sukha sudah meninggal diusia muda
pada tahun 1311 Saka atau 1389 Masehi, tepat saat tahta baru dilimpahkan dari
Prabhu Hayam Wuruk kepada Wikramawarddhana.
Sri
Ratu Prabhu Stri atau Rani Suhita menikah dengan Aji Ratna Pangkaja atau Bhre
Kahuripan V, putra sulung pasangan Surawarddhani atau Bhre Pawanawan I, putri
bungsu Prabhu Hayam Wuruk dengan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I. Raden
Sumirat adalah putra Raden Sotor. Sedangkan Raden Sotor adalah saudara tiri
Prabhu Hayam Wuruk.
Sepeninggal
Rani Suhita, karena tidak dikaruniai seorang putra, maka tahta disepakati akan
dipegang oleh kedua adik Rani Suhita secara bergiliran. Pertama kali yang
dilimpahi tahta adalah Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya pada tahun 1447 Masehi.
Pada tahun 1451 Masehi, Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya wafat, dicandikan
dengan nama resmi candi Krêtawijaya Pura. Setelah Krêtawijaya, Pararaton, tidak
begitu jelas dan terlalu singkat menguraikan siapa penggantinya. Bisa jadi
adalah Krêtarajasa, adik bungsunya. Dan Krêtarajasa inilah yang dikenal dengan
gelar Rajasawarddhana Sang Sinagara. Dan sosok inilah yang disebut-sebut
sebagai ayah dari Bhre Mataram, Bhre Kahuripan, Bhre Pamotan dan Krêtabhumi
dalam akhir Pararaton. Jika benar, maka ungkapan bahwa Bhre Pandhan Salas III
adalah kemenakan dari keempat bersaudara ini, maka bisa ditetapkan bahwa Bhre
Pandhan Salas III adalah putra Bhre Wêngkêr II yang menikah dengan Bhre Matahun
II.
Namun
menurut Prasasti Waringin Pitu, tahta lantas dilimpahkan kepada keponakan
Krêtawijaya, putra Bhre Tumapel II atau Krêtarajasa yang sulung, yaitu Bhre
Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma atau Rajasawarddhana Sang Sinagara
pada tahun 1451 Masehi. Jadi yang dikenal sebagai Sang Sinagara menurut
prasasti Waringin Pitu, tak lain adalah putra Krêtarajasa, keponakan
Krêtawijaya.
Surawarddhani
dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I menurut Pararaton memiliki satu
orang putra dan tiga orang putri. Yang sulung Bhre Kahuripan V atau Aji Ratna
Pangkaja, yang menikahi Rani Suhita, kedua Sang Ratu di Mataram yang dinikahi
oleh Wikramawarddhana, ayah Rani Suhita (jadi adik Aji Ratnapangkaja dinikahi
oleh mertuanya sendiri), ketiga Bhre Lasem IV yang dinikahi Bhre Tumapel II
atau Krêtawijaya, adik Rani Suhita dan yang keempat Bhre Matahun II yang
dinikahi oleh Bhre Wêngkêr II anak dari Krêtawijaya. Pernikahan ini sangat
unik, dimana adik-adik Aji Ratna Pangkaja dinikahi oleh Wikramawarddhana, anak
Wikramawarddhana (Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya) dan cucu Wikramawarddhana
(Bhre Wêngkêr II, anak Krêtawijaya).
Bhre
Tumapel II atau Krêtawijaya, menikah dengan Bhre Lasem IV, adik dari Aji Ratna
Pangkaja, putri Surawarddhani dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I
seperti disebutkan diatas. Dari hasil pernikahan itu lahirlah Bhre Wêngkêr II
dan Bhre Paguhan III.[1] Sedangkan Bhre Tumapel III atau Krêtarajasa atau
Rajasawarddhana, memiliki tiga orang putra, yaitu Bhre Pamotan I
Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma, kedua Bhre Wêngkêr III Girisyawarddhana Dyah
Suryawikrama dan Bhre Pandhan Salas III Singawikramawarddhana Dyah
Suraprabhawa.
Bhre
Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma juga dikenal sebagai Sang Sinagara,
memiliki empat orang putra yaitu Bhre Kahuripan VII Wijayaparakrama Dyah
Samarawijaya, Bhre Mataram V Girindrawardhana Dyah Wijayakarana, Bhre Pamotan
II dan Bhre Kêling IV atau Bhre Krêtabhumi.
Sepeninggal
Rajasawarddhana Sang Sinagara pada tahun 1453 dan dicandikan di Sêpang, terjadi
perebutan tahta antara putra-putra Krêtawijaya dan Rajasawarddhana Sang
Sinagara. Terjadi ketegangan sehingga tahta kosong selama tiga tahun (1453-1456
M). Baru pada tahun 1456, terpilih sebagai Raja adalah Bhre Wêngkêr II, putra
sulung Krêtawijaya yang lantas mengambil gelar Hyang Purwa Wisesa. Memerintah
hingga tahun 1466 Masehi, wafat dan dicandikan di Puri. Sepeninggalnya,
seharusnya tahta dilimpahkan kepada keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara,
namun berhasil diduduki oleh putra bungsu Krêtawijaya, adik Rajasawarddhana
Sang Sinagara, yaitu Bhre Pandhan Salas III atau Singawikramawarddhana Dyah
Suraprabhawa. Selama pemerintahannya, keadaan istana terus terjadi ketegangan,
sehingga baru dua tahun menduduki tahta, Bhre Pandhan Salas III meninggalkan istana.
Lantas siapakah yang mengantikannya sebagai Raja Majapahit? Apakah keturunan
Krêtawijaya atau Rajasawarddhana Sang Sinagara? Penuturan Pararaton terhenti
sampai disini.
Baru
pada tahun 1486 Masehi, Sri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya mengeluarkan
prasasti Jiyu yang berisi maklumat bahwa dirinya adalah penguasa Wilwatikta
(Majapahit), Janggala dan Kadhiri. Disana juga menguraikan pengukuhan ulang
hadiah tanah kepada Bharmaraja Ganggadhara yang pernah dilakukan oleh
Singawarddhana. Ini membuktikan, bahwa sosok Singawarddhana berkuasa
menghadiahkan tanah kepada seorang Brahmana, dan tentunyalah dia seorang Raja.
Dalam prasasti Jiyu juga ditegaskan, pada tahun 1486 tersebut adalah bertepatan
duabelas tahun wafatnya Singawarddhana sehingga Sri Girindrawarddhana Dyah
Ranawijaya mengadakan upacara Sraddha.
Maka
jelaslah sudah, setelah kepergian Bhre Pandhan Salas III, tahta Majapahit
berhasil diduduki oleh Singawarddhana hingga tahun 1474 Masehi. Siapakah
Singawarddhana? Bisa jadi, Singawarddhana adalah kakak kandung
Girindrawarddhana, dan keduanya adalah putra Bhre Pandhan Salas III yang pernah
meninggalkan istana Majapahit. Dari sini bisa disimpulkan, setelah kepergian
Bhre Pandhan Salas III, tahta lantas direbut oleh Singawarddhana sebelum
dikuasai oleh keturunan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakusuma. Lantas
siapakah yang menggantikan Singawarddhana? Tak ada keterangan yang bisa
didapatkan. Namun dari catatan China yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong
Semarang oleh Residen Poortman pada tahun 1928, diketahui bahwa Raja Majapahit
yang memerintah sebelum tahun 1478 Masehi adalah Kung Ta Bu Mi atau Bhre
Krêtabhumi. Siapakah sosok ini? Dalam Pararaton nama Krêtabhumi disebut jelas
sebagai putra Rajasawarddhana Sang Sinagara.
Dari
sini bisa disumpulkan, semenjak kekosongan tahta Majapahit pada tahun
1453-1456, keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara baru bisa memerintah pada
tahun 1474 dan berakhir pada tahun 1478 Masehi. Masa akhir pemerintahan
Krêtabhumi inilah yang terus menjadi polemik berkepanjangan hingga sekarang.
Menurut kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, kejatuhan Krêtabhumi diakibatkan
serangan tentara Demak Bintara. Namun ada juga yang menolak mentah-mentah data
ini dan memunculkan hipotesa bahwa Sri Girindrawarddhana yang telah
mengeluarkan prasasti Jiyu diatas adalah yang menyerang Krêtabhumi. Hipotesa
ini bisa dimaklumi karena jika hal itu benar, maka Jim Bun atau Raden Patah
sebagai Adipati Demak yang notabene adalah salah satu pemimpin masyarakat Islam
diabad 15, selamat dari tuduhan durhaka kepada Krêtabhumi, ayah kandungnya
sendiri yang beragama Siwa Buddha (Buda). Pengkambing hitaman sosok
Girindrawarddhana ini terus digulirkan hingga sekarang. Walau cerita tutur
masyarakat dari berbagai daerah jelas-jelas menunjukkan Raden Patah-lah yang
berhasil menjebol Majapahit, didukung pula oleh berita dalam berbagai Babad
Jawa dan juga berita dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, Semarang, namun
seolah-olah, data ini hendak ditenggelamkan begitu saja. Girindrawarddhana
tetap dianggap bersalah walau data-data belumlah lengkap untuk menghakimi
sosoknya.
Salah
satu berita yang termuat dalam Prasasti Petak menyebutkan Kadigwijayanira sang munggwing
jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“Kemenangan
Sang Munggwing Jinggan yang berhadapan dimedan perang melawan
Majapahit”). Menyiratkan ada penyerangan ke Majapahit oleh sosok Sang
Munggwing Jinggan. Siapakah Sang Munggwing Jinggan ini? Diperkiraan, Sang
Munggwing Jinggan adalah kakak sulung Bhre Krêtabhumi, yaitu Bhre Kahuripan VII
Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya. Lantas siapakah yang diserang? Tentunya
adalah sosok yang pernah merebut tahta Majapahit, yaitu Bhre Pandhan Salas III.
Namun bukankah Bhre Pandhan Salas III telah meninggalkan istana semenjak tahun
1468? Padahal prasasti Petak terbit sekitar tahun 1486, seusia dengan prasasti
Jiyu? Berarti penyerangan itu terjadi tak jauh dari tahun 1486 tersebut. Dan
yang menjadi pertanyaan, mengapa yang menerbitkan malah putra Bhre Pandhan
Salas III yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang terhitung rival dari
Sang Munggwing Jinggan?
Hal ini
menjadi terjawab manakala dicompare dengan informasi dari kronik Tionghwa
klenteng Sam Po Kong Semarang. Bahwasanya yang diserang oleh Sang Munggwing
Jinggan, adalah sosok Raja boneka Majapahit yang diangkat oleh pemerintahan
Demak Bintara, Nyo Lay Wa semenjak tahun 1478
Masehi! Dalam kronik tersebut jelas-jelas menyebutkan, bahwa pemerintahan Nyo
Lay Wa memang berakhir pada tahun 1486, sesuai dengan tahun dimana prasasti
Jiyu dan Petak dikeluarkan! Dan dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong
Semarang itu pula, didapatkan informasi, bahwa Demak telah menginvasi Majapahit
pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi, delapan tahun sebelum penyerangan Sang
Munggwing Jinggan yang mungkin bersekutu dengan keluarga Bhre Pandhan Salas III
!
Dan
menjadi sangat masuk akal jika Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya lantas
mengeluarkan sebuah maklumat bahwa dirinyalah sekarang Raja Majapahit yang
kembali terbebas dari dominasi Demak, walau wilayahnya sekarang hanya sebatas
Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Sehingga dia memakai gelar (abhiseka) Sri Wilwatikta Jenggala Kediri
Prabhu Natha
Kronik
Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang menguraikan, bahwa pada tahun 1478, Jim
Bun, putra selir Kung Ta Bu Mi, Raja Majapahit, menyerang istana Majapahit dan
memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Setelah berhasil menjatuhkan
Majapahit, diangkatlah seorang Raja bawahan di Majapahit bernama Nyo Lay Wa.
Yang dimaksud dengan Kung Ta Bu Mi, tak lain adalah Bhre Krêtabhumi. Ini
berarti, setelah Bhre Krêtabhumi berakhir masa pemerintahannya pada tahun 1478,
Majapahit memang sudah kehilangan kedaulatannya dan menjadi wilayah Demak
Bintara. Dan semenjak saat itu, Raja yang berkuasa di Majapahit adalah
peranakan China bernama Nyo Lay Wa (1478-1486 M)
Disebutkan
disana dalam catatan tersebut, Nyo Lay Wa tewas dalam sebuah kerusuhan yang
terjadi pada tahun 1486. Dan disusul kemudian dengan keluarnya prasasti Jiyu
oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya seperti telah disebutkan diatas, yang
merupakan sebuah maklumat kedaulatan Majapahit walau wilayahnya kini sebatas
Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Ditambah pula prasasti Petak yang
menceritakan kehebatan Sang Mungwing Jinggan saat menggempur istana Majapahit
hingga berhasil direbut kembali dari kekuasaan Demak Bintara, walau Sang
Munggwing Jinggan, akhirnya gugur dimedan pertempuran.
Dan
berlanjut, dalam kronik Tionghwa dicatat bahwa pada tahun 1517, Demak kembali
melakukan penyerangan ke Majapahit yang sudah menyatakan lepas dari
kekuasaannya. Penyerangan ini dipimpin oleh Yat Sun, putra Jim Bun. Raja
Majapahit saat itu disebut dengan nama Pa Bu Ta La. Yat Sun tak lain adalah
Adipati Yunus yang dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor karena pernah menyerang
ke wilayah utara, yaitu Malaka untuk menggempur Portugis pada tahun 1512,
setahun setelah Malaka dikuasai Portugis. Pada prasasti Jiyu jelas ditemukan bahwa
Girindrawarddhana menyebut dirinya sebagai Prabhu Natha. Pa Bu Ta La yang
dimaksud dalam kronik Tionghwa jelas tak lain adalah Prabhu Natha alias Sri
Wilwatikta Janggala Kadhiri alias Girindrawardhana Dyah Ranawijaya! Yang
menjadi pertanyaan, mengapa penyerangan Demak ini begitu terlambat semenjak
direbutnya tahta Majapahit dari tangan Nyo Lay Wa pada tahun 1486 dan baru
diserang pada tahun 1517? Hal ini bisa dijawab bahwasanya, Demak sedang
pontang-panting mengkonsolidasikan kekuatannya untuk menundukkan
wilayah-wulayah Majapahit yang lain. Disamping juga membantu prajurid Cirebon
dan Banten untuk menundukkan Pajajaran. Ditambah menghadapi kedatangan Portugis
di Malaka. Konsentrasi Demak masih terfokus pada menyelamatkan wilayah
sepanjang pesisir pantai utara yang strategis.
Majapahit
berhasil ditundukkan untuk kedua kalinya. Pa Bu Ta La tidak dijatuhi hukuman,
mengingat dia adalah menantu Kung Ta Bu Mie, masih saudara dengan Jim Bun.
Namun kota dan istana Majapahit, habis dirampas oleh tentara Demak.
Dan
pada tahun 1527, saat Demak diperintah oleh putra Jim Bun, Tung Ka Lo, kembali
dia mengirimkan angkatan perang Demak dibawah pimpinan putranya Toh A Bo untuk
membumi hangguskan Majapahit. Tung Ka Lo bisa diidentifikasi sebagai Sultan
Demak ke tiga Trênggana, sedangkan Toh A Bo bisa diidentifikasi sebagai
Pangeran Timur, putra Sultan sendiri. Pembumihangusan ini terkait usaha Pa Bu
Ta La yang hendak mengadakan kerjasama dengan Portugis, melalui Pate Vira,
seorang Adipati Tuban. Hal ini tercatat dalam catatan orang Portugis Suma
Oriental. Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi
Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah
perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan
bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah
Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini
diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang
beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya. Inilah penyerangan ke
tiga yang benar-benar melenyapkan Majapahit dari muka bumi.
Apa
yang direkam semua Babad Jawa mengenai kehancuran Majapahit oleh serangan
Demak, adalah benar. Sebuah peristiwa besar, peristiwa yang sanggup
mengguncangkan kebanggaan orang Jawa, tentu saja akan terekam dalam dari
generasi ke generasi. Dari pelosok timur hingga barat, semua cerita tutur Jawa
yang kita dapati hingga saat ini, tak ada yang kontradiktif. Semua merujuk pada
satu hal, bahwa Majapahit, Negara besar yang pernah ada di Jawa, hancur oleh
serangan militant Islam Demak. Baru memasuki era berdirinya NKRI, wacana
penolakan bermunculan dari mereka yang merasa terpojokkan. Dimana-mana, usaha
untuk menghindarkan Demak sebagai kambing hitam terjadi. Dan Girindrawarddhana
diposisikan sebagai pihak yang harus dipersalahkan. Darmagandhul, adalah salah
satu serat yang mengadopsi ingatan kelam ini. Tuturan Darmagandhul, mengenai
kehancuran Majapahit oleh Demak adalah fakta sejarah yang tidak bisa
dipungkiri. Beberapa keluarga bangsawan Bali, adalah bukti nyata bahwa pernah
terjadi eksodus besar-besaran dari Jawa ke Bali akibat keguncangan politik
tersebut. Suku terasing di kaki gunung Bromo, suku Tengger, juga merupakan
keturunan dari mereka yang menolak masuk Islam. Cerita tutur leluhur mereka,
Jaka Sêgêr dan Rara Antêng, yang mengungsi ke pedalaman Bromo akibat desakan
tentara Demak, masih bisa kita dengar hingga sekarang.
Kisah
seperti diatas lah yang “memungkinkan” mengapa sejarah kelam itu tidak
dimasukan kedalam kurikulum pelajaran sejarah di sekolah…, mengenai peran dari
orang-orang berdarah china juga salah satu factor penting, mengapa cerita
sejarah ini dibiarkan teronggok di museum, atau dibiarkan tersimpan dinegeri
orang, semua data-data penting berjumlah lebih dari 3 muatan penuh pedati lembu
di usung dari San Poo Kong.. namun tak satu lembar pun di tuturkan kepada
generasi muda era orde baru, ini benar-benar ironis, mengingat negeri ini
mayoritas beragama islam, sedangkan fakta mengatakan hancurnya Negara adidaya
pertama di nusantara dan di Pulau Jawa pada khususnya, yang notabene menjadi
kebanggaan orang-orang jawa telah di kubur dan di hancur leburkan oleh
kebudayaan islam yang fanatic dan jelas tidak ingin berdampingan dengan budaya
lain……
Sekarang
jaman sudah berganti, fakta-fakata sejarah semacam ini sedikit demi sedikit
mulai terangkat ke permukaan, kisah-kisah seperti ini sungguh sangat
disayangkan jikalau gilang dan pupus disuatu generasi dan generasi berikutnya
tidak tahu sama sekali, semoga saja kita bisa melestarikan sejarah yang
merupakan ruang waktu yang sangat berharga dan tidak mungkin akan terulang
kembali…………… (Dede
Loo 05/12/2011/Dari Berbagai Sumber)
judul Anda terkesan megnandung kebencia terhadap Agama Islam. Hati-hati kisanak
BalasHapusmuter-muter gak jelas.............
BalasHapusPenulis ini orang GILA yang terobsesi oleh jalan pikiranya sendiri..!! Orang ini berbahaya, karena memutar balikan sejarah.. Bagi dia, sejarah yang otentik adalah karangan dia.. Coba lihat tahunya Tommy Pires datang ke Jawa..? Ini ngaco, menyebarkan HOAX dengan latar sejarah yang diplintir, dan menyebar provokasi kebencian terhadap Islam.. Kita mesti tahu, siapa dia.. Orang beragama atau tidak beragama (Komunis).
HapusSaya mendukung artikel ini.
BalasHapus