Entri Populer

Selasa, 06 Desember 2011

Kemana Legenda Indonesia..?: Teman Bercerita Dimasa Kecil

Kemana Legenda Indonesia..?: Teman Bercerita Dimasa Kecil: Masa kecilku dulu terjadi pada tahun 80-an, dimana hiburan kita yang paling populer adalah bermain "junjangan" atau permainan tradisional tu...

Kemana Legenda Indonesia..?: REVIEW TUTUR TINULAR VERSI 2011

Kemana Legenda Indonesia..?: REVIEW TUTUR TINULAR VERSI 2011: Dulu sekitar tahun 1995 pertelevisian Indonesia digempur secara bertubi-tubi oleh tayangan serial maupun film silat import dari hongkong. Sa...

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak: Bahasa Banyumasan Bagaimana Nasibmu 30 Tahun Mendatang? By Dede Loo “Limbeyane nyempal blarak.. Kartisem, goli mlaku pating kradak ora tey...

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak: Bahasa Banyumasan Bagaimana Nasibmu 30 Tahun Mendatang? By Dede Loo “Limbeyane nyempal blarak.. Kartisem, goli mlaku pating kradak ora tey...

Kemana Legenda Indonesia..?: Legenda Ular Putih

Kemana Legenda Indonesia..?: Legenda Ular Putih: 白蛇传 Siluman Ular Putih Legenda Seberang Yang Mendarah Daging di Bumi Nusantara By Dede Loo Seekor ular putih yang terobsesi menjadi manusi...

Kemana Legenda Indonesia..?: Fakta Sejarah Yang Disamarkan

Kemana Legenda Indonesia..?: Fakta Sejarah Yang Disamarkan: Apakah Kita Sudah Menghargai Sejarah…? Nyo Lai Wa… Seorang Penguasa Majapahit Keturunan China dan Fakta Runtuhnya Kerajaan Super Besar K...

Fakta Sejarah Yang Disamarkan


Apakah Kita Sudah Menghargai Sejarah…?
Nyo Lai Wa… Seorang Penguasa Majapahit Keturunan China dan Fakta Runtuhnya Kerajaan Super Besar Kebanggaan Rakyat Jawa Oleh Budaya Islam

Apabila kita mengingat masa dimana kita masih duduk dibangku sekolah dahulu, pelajaran sejarah terutama sejarah nasional teramat sangat pendek, dimulai dari zaman pra sejarah kemudian zaman kerajaan  dilanjutkan dengan datangnya bangsa portugis selaku penjajah, bangsa belanda, jepang dan kemudian masa revolusi bangsa ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sungguh teramat pendek dan dangkal sekali, di sini terlihat sekali  bahwa banyak fakta-fakta yang justru teramat penting tetapi sengaja dikubur dan tidak di ungkapkan ke generasi selanjutnya. Banyak alasan yang menyelimuti mengapa fakta ini tidak dan sengaja tak terungkapkan. Mulai dari kekawatiran segelintir orang yang menyebut dirinya penguasa akan jatuhnya reputasi dari faham yang mereka anut, sampai dengan pendapat akan satu hal “sebegitu besarkah peran orang asing itu di negeri ini”..? pendapat-pendapat itu sungguh naif apa bila kita pikir, suatu bangsa tidak mungkin akan tumbuh besar sendiri tanpa pengaruh dari bangsa lain, pengaruh bangsa lain pun tidak selamanya akan menguntunkan bagi suatu bangsa, bahkan bisa menghancurkan seperti kejadiar ratusan tahun yang silam dimana kerajaan-kerajaan hindu budha yang teramat masyur, salah satunya adalah kerajaan besar kebanggaan rakyat jawa yaitu Majapahit yang hancur akibat ideology islam yang keras dan tidak cocok diterapkan.

Berikut ini adalah kisah yang bisa kita sebut fakta yang telah lama terpendam dan teronggok di mana-mana ,…

Inilah daftar Raja-Raja Majapahit sesuai penuturan Pararaton, Nagarakrêtagama dan beberapa prasasti yang ditemukan serta Kronik Tionghwa, klenteng Sam Po Kong, Semarang :

1.        Nararyya Sanggramawijaya mengambil abhiseka (gelar) Sri Krêtarajasa Jayawarddhana  (1294-1309 M), wafat di Antahpura

2.        Sri Jayanagara mengambil abhiseka (gelar) Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara (1309-1328 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Daha I. Dicandikan di Kapopongan, nama candi Srênggapura. Arcanya dibangun di Antawulan. 

3.        Rani Wijayatunggadewi mengambil abhiseka (gelar) Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1350 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan I. Dicandikan di Panggih, nama candi Giri Pantarapura. 

4.        Sri Hayam Wuruk mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasanagara Sang Hyang Wêkasing Sukha (1350-1389 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan II.

5.        Aji Wikrama atau Wikramawarddhana mengambil abhiseka (gelar) Sri Hyang Wisesa, Orang China mengenalnya sebagai Yang Wi Si Sa (1389-1427 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Mataram I. Wafat di Indrabhawana, dicandikan di Tanjung, nama candi Paramasukha Pura

6.        Sri Ratu Prabhu Stri  mengambil abhiseka (gelar) Rani Suhita. Orang China mengenalnya dengan nama Su King Ta (1427-1447). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Pajang II  lalu Bhre Daha IV. Dicandikan di Singajaya.

7.        Bhre Tumapel II dikenal sebagai Krêtawijaya (1447-1451 M). Setelah beliau wafat, candinya dinamakan Krêtawijaya Pura

8.        Sri Krêtarajasa (atau mungkin Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma) mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasawarddhana Sang Sinagara (1451-1453 M). Dicandikan di Sêpang.

Kemudian Negeri itu Kosong selama tiga tahun.

9.        Bhre Wêngkêr II mengambil abhiseka (gelar) Hyang Purwawisesa (1456-1466 M), dicandikan di Puri

10.      Bhre Pandhan Salas III, dua tahun menjadi Raja lantas meninggalkan istana (1466-1468 M)

11.      Sri Singawarddhana (1468-1474 M)

12.      Bhre Krêtabhumi. Orang China mengenalnya dengan nama Kung Ta Bu Mi (1474-1478 M) Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kêling IV. Wafat dimakamkan di pemakaman Tralaya.


Sepeninggal Prabhu Hayam Wuruk pada tahun 1389 Masehi, tahta lantas diserahkan kepada Bhre Mataram I atau Wikramawarddhana, menantu sekaligus kemenakan beliau. Wikramawarddhana adalah putra tertua dari Bhre Pajang I atau Rajasadhuhiteswari, adik kandung Prabhu Hayam Wuruk yang menikah dengan Raden Sumana atau Bhre Paguhan I. Wikramawarddhana menikahi putri Prabhu Hayam Wuruk, Kusumawarddhani.

Dari pernikahan tersebut, lahirlah Hyang Wekasing Sukha. Sedangkan dari selir, Wikramawarddhana memiliki satu putri dan dua putra.  Putri sulung bernama Sri Ratu Prabhu Stri yang kelak terkenal dengan gelar Rani Suhita, kedua Bhre Tumapel II yang kelak terkenal sebagai Krêtawijaya dan yang bungsu adalah Bhre Tumapel III atau Sri Krêtarajasa.

Sepeninggal Wikramawarddhana, tahta diserahkan kepada Sri Ratu Prabhu Stri pada tahun 1427 Masehi karena putra mahkota, Hyang Wekasing Sukha sudah meninggal diusia muda pada tahun 1311 Saka atau 1389 Masehi, tepat saat tahta baru dilimpahkan dari Prabhu Hayam Wuruk kepada Wikramawarddhana.

Sri Ratu Prabhu Stri atau Rani Suhita menikah dengan Aji Ratna Pangkaja atau Bhre Kahuripan V, putra sulung pasangan Surawarddhani atau Bhre Pawanawan I, putri bungsu Prabhu Hayam Wuruk dengan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I. Raden Sumirat adalah putra Raden Sotor. Sedangkan Raden Sotor adalah saudara tiri Prabhu Hayam Wuruk.

Sepeninggal Rani Suhita, karena tidak dikaruniai seorang putra, maka tahta disepakati akan dipegang oleh kedua adik Rani Suhita secara bergiliran. Pertama kali yang dilimpahi tahta adalah Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya pada tahun 1447 Masehi. Pada tahun 1451 Masehi, Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya wafat, dicandikan dengan nama resmi candi Krêtawijaya Pura. Setelah Krêtawijaya, Pararaton, tidak begitu jelas dan terlalu singkat menguraikan siapa penggantinya. Bisa jadi adalah Krêtarajasa, adik bungsunya. Dan Krêtarajasa inilah yang dikenal dengan gelar Rajasawarddhana Sang Sinagara. Dan sosok inilah yang disebut-sebut sebagai ayah dari Bhre Mataram, Bhre Kahuripan, Bhre Pamotan dan Krêtabhumi dalam akhir Pararaton. Jika benar, maka ungkapan bahwa Bhre Pandhan Salas III adalah kemenakan dari keempat bersaudara ini, maka bisa ditetapkan bahwa Bhre Pandhan Salas III adalah putra Bhre Wêngkêr II yang menikah dengan Bhre Matahun II.

Namun menurut Prasasti Waringin Pitu, tahta lantas dilimpahkan kepada keponakan Krêtawijaya, putra Bhre Tumapel II atau Krêtarajasa yang sulung, yaitu Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma atau Rajasawarddhana Sang Sinagara pada tahun 1451 Masehi. Jadi yang dikenal sebagai Sang Sinagara menurut prasasti Waringin Pitu, tak lain adalah putra Krêtarajasa, keponakan Krêtawijaya.

Surawarddhani dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I menurut Pararaton memiliki satu orang putra dan tiga orang putri. Yang sulung Bhre Kahuripan V atau Aji Ratna Pangkaja, yang menikahi Rani Suhita, kedua Sang Ratu di Mataram yang dinikahi oleh Wikramawarddhana, ayah Rani Suhita (jadi adik Aji Ratnapangkaja dinikahi oleh mertuanya sendiri), ketiga Bhre Lasem IV yang dinikahi Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya, adik Rani Suhita dan yang keempat Bhre Matahun II yang dinikahi oleh Bhre Wêngkêr II anak dari Krêtawijaya. Pernikahan ini sangat unik, dimana adik-adik Aji Ratna Pangkaja dinikahi oleh Wikramawarddhana, anak Wikramawarddhana (Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya) dan cucu Wikramawarddhana (Bhre Wêngkêr II, anak Krêtawijaya).

Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya, menikah dengan Bhre Lasem IV, adik dari Aji Ratna Pangkaja, putri Surawarddhani dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I seperti disebutkan diatas. Dari hasil pernikahan itu lahirlah Bhre Wêngkêr II dan Bhre Paguhan III.[1] Sedangkan Bhre Tumapel III atau Krêtarajasa atau Rajasawarddhana, memiliki tiga orang putra, yaitu Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma, kedua Bhre Wêngkêr III Girisyawarddhana Dyah Suryawikrama dan Bhre Pandhan Salas III Singawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa.

Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma juga dikenal sebagai Sang Sinagara, memiliki empat orang putra yaitu Bhre Kahuripan VII Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya, Bhre Mataram V Girindrawardhana Dyah Wijayakarana, Bhre Pamotan II dan Bhre Kêling IV atau Bhre Krêtabhumi.

Sepeninggal Rajasawarddhana Sang Sinagara pada tahun 1453 dan dicandikan di Sêpang, terjadi perebutan tahta antara putra-putra Krêtawijaya dan Rajasawarddhana Sang Sinagara. Terjadi ketegangan sehingga tahta kosong selama tiga tahun (1453-1456 M). Baru pada tahun 1456, terpilih sebagai Raja adalah Bhre Wêngkêr II, putra sulung Krêtawijaya yang lantas mengambil gelar Hyang Purwa Wisesa. Memerintah hingga tahun 1466 Masehi, wafat dan dicandikan di Puri. Sepeninggalnya, seharusnya tahta dilimpahkan kepada keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara, namun berhasil diduduki oleh putra bungsu Krêtawijaya, adik Rajasawarddhana Sang Sinagara, yaitu Bhre Pandhan Salas III atau Singawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa. Selama pemerintahannya, keadaan istana terus terjadi ketegangan, sehingga baru dua tahun menduduki tahta, Bhre Pandhan Salas III meninggalkan istana. Lantas siapakah yang mengantikannya sebagai Raja Majapahit? Apakah keturunan Krêtawijaya atau Rajasawarddhana Sang Sinagara? Penuturan Pararaton terhenti sampai disini.

Baru pada tahun 1486 Masehi, Sri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya mengeluarkan prasasti Jiyu yang berisi maklumat bahwa dirinya adalah penguasa Wilwatikta (Majapahit), Janggala dan Kadhiri. Disana juga menguraikan pengukuhan ulang hadiah tanah kepada Bharmaraja Ganggadhara yang pernah dilakukan oleh Singawarddhana. Ini membuktikan, bahwa sosok Singawarddhana berkuasa menghadiahkan tanah kepada seorang Brahmana, dan tentunyalah dia seorang Raja. Dalam prasasti Jiyu juga ditegaskan, pada tahun 1486 tersebut adalah bertepatan duabelas tahun wafatnya Singawarddhana sehingga Sri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya mengadakan upacara Sraddha.

Maka jelaslah sudah, setelah kepergian Bhre Pandhan Salas III, tahta Majapahit berhasil diduduki oleh Singawarddhana hingga tahun 1474 Masehi. Siapakah Singawarddhana? Bisa jadi, Singawarddhana adalah kakak kandung Girindrawarddhana, dan keduanya adalah putra Bhre Pandhan Salas III yang pernah meninggalkan istana Majapahit. Dari sini bisa disimpulkan, setelah kepergian Bhre Pandhan Salas III, tahta lantas direbut oleh Singawarddhana sebelum dikuasai oleh keturunan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakusuma. Lantas siapakah yang menggantikan Singawarddhana? Tak ada keterangan yang bisa didapatkan. Namun dari catatan China yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong Semarang oleh Residen Poortman pada tahun 1928, diketahui bahwa Raja Majapahit yang memerintah sebelum tahun 1478 Masehi adalah Kung Ta Bu Mi atau Bhre Krêtabhumi. Siapakah sosok ini? Dalam Pararaton nama Krêtabhumi disebut jelas sebagai putra Rajasawarddhana Sang Sinagara.

Dari sini bisa disumpulkan, semenjak kekosongan tahta Majapahit pada tahun 1453-1456, keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara baru bisa memerintah pada tahun 1474 dan berakhir pada tahun 1478 Masehi. Masa akhir pemerintahan Krêtabhumi inilah yang terus menjadi polemik berkepanjangan hingga sekarang. Menurut kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, kejatuhan Krêtabhumi diakibatkan serangan tentara Demak Bintara. Namun ada juga yang menolak mentah-mentah data ini dan memunculkan hipotesa bahwa Sri Girindrawarddhana yang telah mengeluarkan prasasti Jiyu diatas adalah yang menyerang Krêtabhumi. Hipotesa ini bisa dimaklumi karena jika hal itu benar, maka Jim Bun atau Raden Patah sebagai Adipati Demak yang notabene adalah salah satu pemimpin masyarakat Islam diabad 15, selamat dari tuduhan durhaka kepada Krêtabhumi, ayah kandungnya sendiri yang beragama Siwa Buddha (Buda). Pengkambing hitaman sosok Girindrawarddhana ini terus digulirkan hingga sekarang. Walau cerita tutur masyarakat dari berbagai daerah jelas-jelas menunjukkan Raden Patah-lah yang berhasil menjebol Majapahit, didukung pula oleh berita dalam berbagai Babad Jawa dan juga berita dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, Semarang, namun seolah-olah, data ini hendak ditenggelamkan begitu saja. Girindrawarddhana tetap dianggap bersalah walau data-data belumlah lengkap untuk menghakimi sosoknya.

Salah satu berita yang termuat dalam Prasasti Petak menyebutkan Kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“Kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang berhadapan dimedan perang melawan Majapahit”).  Menyiratkan ada penyerangan ke Majapahit oleh sosok Sang Munggwing Jinggan. Siapakah Sang Munggwing Jinggan ini? Diperkiraan, Sang Munggwing Jinggan adalah kakak sulung Bhre Krêtabhumi, yaitu Bhre Kahuripan VII Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya. Lantas siapakah yang diserang? Tentunya adalah sosok yang pernah merebut tahta Majapahit, yaitu Bhre Pandhan Salas III. Namun bukankah Bhre Pandhan Salas III telah meninggalkan istana semenjak tahun 1468? Padahal prasasti Petak terbit sekitar tahun 1486, seusia dengan prasasti Jiyu? Berarti penyerangan itu terjadi tak jauh dari tahun 1486 tersebut. Dan yang menjadi pertanyaan, mengapa yang menerbitkan malah putra Bhre Pandhan Salas III yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang terhitung rival dari Sang Munggwing Jinggan?

Hal ini menjadi terjawab manakala dicompare dengan informasi dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang. Bahwasanya yang diserang oleh Sang Munggwing Jinggan, adalah sosok Raja boneka Majapahit yang diangkat oleh pemerintahan Demak Bintara, Nyo Lay Wa semenjak tahun 1478 Masehi! Dalam kronik tersebut jelas-jelas menyebutkan, bahwa pemerintahan Nyo Lay Wa memang berakhir pada tahun 1486, sesuai dengan tahun dimana prasasti Jiyu dan Petak dikeluarkan! Dan dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang itu pula, didapatkan informasi, bahwa Demak telah menginvasi Majapahit pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi, delapan tahun sebelum penyerangan Sang Munggwing Jinggan yang mungkin bersekutu dengan keluarga Bhre Pandhan Salas III !

Dan menjadi sangat masuk akal jika Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya lantas mengeluarkan sebuah maklumat bahwa dirinyalah sekarang Raja Majapahit yang kembali terbebas dari dominasi Demak, walau wilayahnya sekarang hanya sebatas Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Sehingga dia memakai gelar (abhiseka) Sri Wilwatikta Jenggala Kediri Prabhu Natha

Kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang menguraikan, bahwa pada tahun 1478, Jim Bun, putra selir Kung Ta Bu Mi, Raja Majapahit, menyerang istana Majapahit dan memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Setelah berhasil menjatuhkan Majapahit, diangkatlah seorang Raja bawahan di Majapahit bernama Nyo Lay Wa. Yang dimaksud dengan Kung Ta Bu Mi, tak lain adalah Bhre Krêtabhumi. Ini berarti, setelah Bhre Krêtabhumi berakhir masa pemerintahannya pada tahun 1478, Majapahit memang sudah kehilangan kedaulatannya dan menjadi wilayah Demak Bintara. Dan semenjak saat itu, Raja yang berkuasa di Majapahit adalah peranakan China bernama Nyo Lay Wa (1478-1486 M)

Disebutkan disana dalam catatan tersebut, Nyo Lay Wa tewas dalam sebuah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1486. Dan disusul kemudian dengan keluarnya prasasti Jiyu oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya seperti telah disebutkan diatas, yang merupakan sebuah maklumat kedaulatan Majapahit walau wilayahnya kini sebatas Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Ditambah pula prasasti Petak yang menceritakan kehebatan Sang Mungwing Jinggan saat menggempur istana Majapahit hingga berhasil direbut kembali dari kekuasaan Demak Bintara, walau Sang Munggwing Jinggan, akhirnya gugur dimedan pertempuran.

Dan berlanjut, dalam kronik Tionghwa dicatat bahwa pada tahun 1517, Demak kembali melakukan penyerangan ke Majapahit yang sudah menyatakan lepas dari kekuasaannya. Penyerangan ini dipimpin oleh Yat Sun, putra Jim Bun. Raja Majapahit saat itu disebut dengan nama Pa Bu Ta La. Yat Sun tak lain adalah Adipati Yunus yang dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor karena pernah menyerang ke wilayah utara, yaitu Malaka untuk menggempur Portugis pada tahun 1512, setahun setelah Malaka dikuasai Portugis. Pada prasasti Jiyu jelas ditemukan bahwa Girindrawarddhana menyebut dirinya sebagai Prabhu Natha. Pa Bu Ta La yang dimaksud dalam kronik Tionghwa jelas tak lain adalah Prabhu Natha alias Sri Wilwatikta Janggala Kadhiri alias Girindrawardhana Dyah Ranawijaya! Yang menjadi pertanyaan, mengapa penyerangan Demak ini begitu terlambat semenjak direbutnya tahta Majapahit dari tangan Nyo Lay Wa pada tahun 1486 dan baru diserang pada tahun 1517? Hal ini bisa dijawab bahwasanya, Demak sedang pontang-panting mengkonsolidasikan kekuatannya untuk menundukkan wilayah-wulayah Majapahit yang lain. Disamping juga membantu prajurid Cirebon dan Banten untuk menundukkan Pajajaran. Ditambah menghadapi kedatangan Portugis di Malaka. Konsentrasi Demak masih terfokus pada menyelamatkan wilayah sepanjang pesisir pantai utara yang strategis.

Majapahit berhasil ditundukkan untuk kedua kalinya. Pa Bu Ta La tidak dijatuhi hukuman, mengingat dia adalah menantu Kung Ta Bu Mie, masih saudara dengan Jim Bun. Namun kota dan istana Majapahit, habis dirampas oleh tentara Demak.

Dan pada tahun 1527, saat Demak diperintah oleh putra Jim Bun, Tung Ka Lo, kembali dia mengirimkan angkatan perang Demak dibawah pimpinan putranya Toh A Bo untuk membumi hangguskan Majapahit. Tung Ka Lo bisa diidentifikasi sebagai Sultan Demak ke tiga Trênggana, sedangkan Toh A Bo bisa diidentifikasi sebagai Pangeran Timur, putra Sultan sendiri. Pembumihangusan ini terkait usaha Pa Bu Ta La yang hendak mengadakan kerjasama dengan Portugis, melalui Pate Vira, seorang Adipati Tuban. Hal ini tercatat dalam catatan orang Portugis Suma Oriental. Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya. Inilah penyerangan ke tiga yang benar-benar melenyapkan Majapahit dari muka bumi.

Apa yang direkam semua Babad Jawa mengenai kehancuran Majapahit oleh serangan Demak, adalah benar. Sebuah peristiwa besar, peristiwa yang sanggup mengguncangkan kebanggaan orang Jawa, tentu saja akan terekam dalam dari generasi ke generasi. Dari pelosok timur hingga barat, semua cerita tutur Jawa yang kita dapati hingga saat ini, tak ada yang kontradiktif. Semua merujuk pada satu hal, bahwa Majapahit, Negara besar yang pernah ada di Jawa, hancur oleh serangan militant Islam Demak. Baru memasuki era berdirinya NKRI, wacana penolakan bermunculan dari mereka yang merasa terpojokkan. Dimana-mana, usaha untuk menghindarkan Demak sebagai kambing hitam terjadi. Dan Girindrawarddhana diposisikan sebagai pihak yang harus dipersalahkan. Darmagandhul, adalah salah satu serat yang mengadopsi ingatan kelam ini. Tuturan Darmagandhul, mengenai kehancuran Majapahit oleh Demak adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Beberapa keluarga bangsawan Bali, adalah bukti nyata bahwa pernah terjadi eksodus besar-besaran dari Jawa ke Bali akibat keguncangan politik tersebut. Suku terasing di kaki gunung Bromo, suku Tengger, juga merupakan keturunan dari mereka yang menolak masuk Islam. Cerita tutur leluhur mereka, Jaka Sêgêr dan Rara Antêng, yang mengungsi ke pedalaman Bromo akibat desakan tentara Demak, masih bisa kita dengar hingga sekarang.

Kisah seperti diatas lah yang “memungkinkan” mengapa sejarah kelam itu tidak dimasukan kedalam kurikulum pelajaran sejarah di sekolah…, mengenai peran dari orang-orang berdarah china juga salah satu factor penting, mengapa cerita sejarah ini dibiarkan teronggok di museum, atau dibiarkan tersimpan dinegeri orang, semua data-data penting berjumlah lebih dari 3 muatan penuh pedati lembu di usung dari San Poo Kong.. namun tak satu lembar pun di tuturkan kepada generasi muda era orde baru, ini benar-benar ironis, mengingat negeri ini mayoritas beragama islam, sedangkan fakta mengatakan hancurnya Negara adidaya pertama di nusantara dan di Pulau Jawa pada khususnya, yang notabene menjadi kebanggaan orang-orang jawa telah di kubur dan di hancur leburkan oleh kebudayaan islam yang fanatic dan jelas tidak ingin berdampingan dengan budaya lain……



Sekarang jaman sudah berganti, fakta-fakata sejarah semacam ini sedikit demi sedikit mulai terangkat ke permukaan, kisah-kisah seperti ini sungguh sangat disayangkan jikalau gilang dan pupus disuatu generasi dan generasi berikutnya tidak tahu sama sekali, semoga saja kita bisa melestarikan sejarah yang merupakan ruang waktu yang sangat berharga dan tidak mungkin akan terulang kembali…………… (Dede Loo 05/12/2011/Dari Berbagai Sumber)