Entri Populer

Selasa, 11 Oktober 2011

Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak

Bahasa Banyumasan
Bagaimana Nasibmu 30 Tahun Mendatang?

By Dede Loo

“Limbeyane nyempal blarak.. Kartisem, goli mlaku pating kradak ora teyeng kalem… liwat ngarep koplak menyak kulit gedhang keplarak, kepaduk ngrungkebi becak….” (Lambaiannya seperti pelepah kelapa yang sudah patah, Kartisem kalau jalan berisik tidak bisa diam.. lewat depan komplek menginjak kulit pisang terpeleset dan jatuh tengkurep di becak…), itulah sepenggal lirik lagu “Nini Kartisem” yang dipopulerkan oleh Sopsan, sebuah group campur sari dari Banyumas. Untuk saya pribadi orang Cilacap yang sememangnya akrab dan menggunakan bahasa ini setiap hari saja sempat sangat geli dan tertawa mendengar lagu ini, apa lagi orang yang memang berasal dari daerah yang tidak menggunakan dialek Banyumas yang mendengarnya.

Bahasa Banyumasan ini atau dikenal dengan “bahasa ngapak-ngapak” digunakan oleh masyarakat jawa bagian barat, tapi bukan berarti orang jawa barat yang terbiasa berbahasa sunda lho. Dalam hal ini adalah beberapa bagian jawa tengah bagian barat yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu selatan (Purwokerto, Banyumas, Cilacap, Kroya, Gombong kebumen dan sekitarnya), bagian barat (Cirebon, indramayu, sebagian Ciamis dan sekitarnya), serta bagian Utara (Brebes, Tegal, Pemalang dan sekitarnya). Bahkan ada yang aneh, yaitu masyarakat Banten utara yang memang memiliki kesamaan yang sangat dekat dalam berkomunikasi sehari-hari yaitu dengan menggunakan bahasa mereka yang mirip dengan bahasa Banyumasan juga. Ini sangat menarik sekali jikalau dikaitkan dengan sejarah, pada masa lalu banyak orang dari daerah banyumas dan sekitarnya yang di buang ke daerah banten, mereka beranak pinak dan menempati beberapa bagian banten masa itu sehingga sekarang, dengan demikian dibeberapa bagian propinsi yang dulu ikut Tangerang ini terdapat kampung-kampung yang menggunakan bahasa pangenyongan juga. Jikalau dilihat dari jarak yang lebih dari 300 Km itu memang sangat mengejutkan yaaaa……

Sebenernya ada apa, dan mengapa dialek Banyumasan ini selalu menjadi bahan tertawaan apabila terdengar? Sehingga para penggunanya selalu berusaha menutupinya dikala berada di kerumunan orang-orang yang berbahasa selain Banyumasan? Sungguh sangat ironi dan menghawatirkan, padahal sebuah dialek adalah identitas suatu etnik, karena dialek itu adalah asset kekayaan suatu etnik, orang lain akan mengenal kita dari etnik mana bukan karena kulit atau penampilan (kecuali etnik tertentu yang memang memiliki penampilan khas, seperti Tiong Hoa yang putih dan mata sipit, atau etnik papua yang Hitam dan bermuka negrito) melainkan bahasa atau dialek yang kita ucapkan, orang yang berbicara dengan logat sunda tentu sangat jelas dia berasal dari jawa barat dan sekitarnya, dan apabila menggunakan bahasa jawa baku itu sudah pasti berasal dari daerah Yogyakarta ke timur, dan tentu saja yang berbicara Ngapak-ngapak itu sudah pasti dari Banyumas, Cilacap dan sekitarnya.

Bahasa Banyumasan ini kalau ditelaah lebih dalam mungkin adalah bahasa yang paling memiliki hubungan langsung dengan bahasa jawa kuno/bahasa kawi. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa kosa kata yang ada di dalamnya, seperti penggunaan kata “inyong” untuk sebutan “saya” dalam bahasa Banyumas, ini tidak jauh berbeda dengan bahawa jawa kuno yang menyebut “Ingwang” pada sekitar tahun 900 M sampai 1300 M, atau kata “Ingong”  pada tahun 1300 M sampai 1600 M yang memiliki arti sama yaitu “saya”. Selain itu juga ada kata “Gandul” yang memiliki arti papaya atau “Rika” yang memiliki arti “kamu” yang juga biasa digunakan pada zaman Jawa kuno dulu.

Lalu mengapa bahasa Banyumasan itu dianggap sebagai bahasa orang kelas bawah bila dibandingkan dengan bahasa Jawa lainya, apa karena pengucapannya yang khas? Ternyata bukan. Dahulu pada masa kerajaan, pusat pemerintahan terletak di Yogyakarta dan sekitarnya, jadi di daerah jawa tengah bagian barat tidak ada kerajaan, termasuk dareah Banyumas dan sekitarnya, sehingga daerah ini menjadi bagian dari kerajaan yang berada di Yogyakarta tersebut. Pada masa itu tentu saja sering ada utusan atau pesuruh yang datang dari pusat kota untuk sekedar meninjau atau menyampaikan amanat penting ke kepala-kepala pemerintahan di daerah Banyumas. Pesuruh/utusan kerajaan itu biasa disebut “Gandhek” oleh orang-orang setempat, karena pesuruh atau “gandhek” tersebut berasal dari jawa ketimuran maka bahasa jawa yang dipakai adala bahasa jawa yang baku, yang biasa disebut jawa wetanan, atau yang kini digunakan oleh masyarakat Yogyakarta, solo dan sekitarnya. Oleh sebab itu penduduk jawa Banyumas selalu menyebut kata “bandhek” untuk bahasa jawa wetanan tadi, karena berasal dari kata “Gandhek” tersebut. Pada masa-masa itu karena kebanyakan pejabat tinggi menggunakan bahasa jawa baku/wetanan maka orang banyumasan merasa selalu mengalah, dikarenakan menganggap diri mereka adalah kaum yang bertengger dibawahnya.

Pada masa sekarang ini pun seringkali terbawa oleh kebiasaan masa lalu itu, dimana orang Banyumas atau disebut sebagai orang panginyongan seringkali merasa malu atau merasa terpencilkan bila menggunakan dialek ini di muka masyarakat umum, terutama apabila berada di daerah yang tidak menggunakan bahasa Banyumasan, seperti di Jakarta atau tempat lain. Bahkan seringkali orang-orang yang berbahasa banyumasan pada masa ini pun masih diperlakukan seperti masa-masa ratusan tahun yang lalu, orang-orang yang tidak menggunakan bahasa ini terkadang mengkait-kaitkan  dengan warteg (warung tegal) atau dengan para pembantu rumah tangga. Ini terlihat sekali dengan tayangan-tayangan televisi yang memang mau tidak mau akan menjadi perhatian public, dan munkin menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat dirubah, kalau pemilik warteg ya pasti orang-orang jawa tengah bagian barat, atau pembantu rumah tangga ya pasti ngomongnya pake bahasa ngapak-ngapak, saya belum pernah lihat di sinetron atau filem ada peran pembantu rumah tangga orang Batak atau orang dari suku lain, ada sih…… tapi tidak sebanyak orang-orang Jawa yang dipajang sebagai pembantu atau babu, terutama jawa panginyongan tadi.

Bahkan saya pernah berdialog dengan orang yang berasal dari dareah Sumatra utara, dia sendiri keturunan Jawa, namun dia berkata di mata masyarakat luas di sana orang-orang jawa dari jaman dahulu tidak mementingkan pendidikan untuk anak-anaknya, selalu memiliki banyak anak dan anak-anak memiliki pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan orang tuanya, apa bila orang tua petani maka orang tua itu akan berpikir anaknya akan jadi petani seperti dirinya, jadi seperti hidup yang akan terus berulang tanpa perubahan yang berarti. Jarang sekali orang jawa yang menginginkan perubahan terhadap keturunannya kala itu. Apalagi orang jawa memiliki semboyan “banyak anak banyak rejeki” atau “makan gak makan asal kumpul” atau “alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan yang penting terlaksana), memang kalau ditelaah lebih dalam semboyan itu mencermikan sikap pasrah yang cenderung pasif, dimana ini terlihat seperti apapun yang terjadi ya terjadi saja, mereka tidak akan menentang atau berusaha bangkit. Parahnya yang memiliki sifat seperti itu, atau masyarakat jawa yang menganut prinsip itu adalah orang jawa pangeyongan di kebanyakannya, ini juga terbukti dimana bila di lihat dari latar belakang pendidikan dan peraih gelar sarjana kebanyakan orang-orang jawa wetanan,  tidak demikian dengan daerah Cilacap, banyumas dan sekitarnya, namun keadaan sudah sedikit berubah akhir-akhir ini. Tetapi tidak menutup kemungkinan masih banyak sekali masyarakat yang menganut prinsip tersebut, apalagi masyarakat yang tinggal jauh diperkampungan atau pesisir.

Ini sangat kontras sekali dengan orang-orang dari suku lain seperti Batak atau Padang apa lagi dengan bangsa keturunan. Saya mohon maaf bukan mau membanding-bandingkan suku, namun hanya sebagai pandangan saja, suku batak memiliki watak keras dan ambisius, mereka juga sangat mementingkan pendidikan, cita-cita yang sangat popular tentu saja pengacara, dan menjadi pengacara mana bisa hanya tamat SD, karakter orang-orang batak juga tegas, mereka tidak akan tinggal diam apabila mendapat perlakuan buruk, ini sangat berbeda dengan masyarakat jawa. Oh ya seperti saya ungkap diatas dalam tayangan televisi peran pengacara biasa diperankan oleh orang batak dan peran pembantu diperankan oleh orang jawa, terutama jawa panginyongan.

Itu semua adalah fakta yang ada, dimana masyarakat Banyumas masih merasa dirinya itu lebih rendah dari masyarakat jawa bagian lain atau bahkan dari suku lain, walau jaman sudah berganti namun adat tersebut atau karakter yang merasa dirinya itu hanya sekedar hamba seperti phobia dan trauma hingga ke anak cucu.

Dalam pergaulan modern seperti ini, seperti saya sendiri yang memang dilahirkan dan di besarkan di Kroya Cilacap, tentu saja sangat mengerti dan fasih dalam mendengar dan mengucapkan kata-kata dalam dialek banyumasan ini, namun memang saya sendiri pun merasa sungkan sekali untuk mengucapkan jikalau dengan teman atau orang yang bukan berasal dari daerah saya, kekawatiran akan di tertawakan atau direndahkan selalu muncul dalam benak saya. Yang lebih parah lagi bertahun-tahun saya tinggal di luar kampung halaman saya, apa bila saya pulang saya dapati hanya orang-orang tua saja yang berbicara menggunakan dialek banyumasan asli, namun untuk anak-anak belasan hingga 25 tahunan mereka menggunakan bahasa indonesia yang beraroma banyumasan. Seperti di toko atau dipasar, pelayan atau penjual dagangan itu menggunakan bahasa indonesia.

Ini salah siapa? Jikalau kita lihat ke masa lalu, apa kita harus menyalahkan nenek moyang kita dulu?, atau kita sendiri yang memang tidak pandai merubah nasib. Dalam dunia pendidikan juga turut berperan, kita ingat saja jaman SD dan SMP dulu, muatan local yaitu pelajaran Bahasa Dareah yang kita pelajari adalah bahasa Jawa baku yang biasa dipakai di Yogyakarta, solo dan sekitarnya, namun bahasa asli Banyumasan atau bahasa pangenyongan atau bahasa ngapak-ngapak tidak ada mata pelajarannya, semua lagu daerah jawa yang di ajarkan juga tidak satupun menggunakan bahasa dareah Banyumasan. Bahkan saya pribadi mendengar ada lagu berbahasa banyumas ya lagu “Nini Kartisem” itu tadi, sebelumnya munkin lagu-lagu seperti “kembang kilaras” atau “waru doyong” yang sudah keburu di cap sebagai lagu cirebonan.

Ini sungguh sangat menghawatirkan, padahal lidah dari orang-orang jawa banyumasan ini adalah yang paling flexible dibandingkan dengan lidah dari jawa bagian lain, saya sendiri tidak pernah ada yang menyangaka kalau bahasa asal saya adalah bahasa ngapak-ngapak, dibandingkan dengan siapa saja yang berasal dari dareah jawa wetanan hingga Surabaya dan sekitarnya dimanapun dia tinggal, selama apapun pasti dialek asal masih terdengar dengan jelas. Namun tidak untuk orang-orang dari jawa banyumas, lidah kita akan fasih sefasih orang asli bahasa tersebut, kita bisa bicara menggunakan bahasa Inggris tanpa “mendhok” jawa, atau bahasa Mandarin dengan bagus seperti orang Taiwan. Lihat para TKW yang pulang dari Taiwan atau Hongkong, mereka sangat fasih dan tidak kelihatan sekali bahasa ngapaknya jika sedang bertutur dalam bahasa china. Ini merupakan suatu bukti bahwa masyarakat banyumasan bisa untuk berbaur dengan bangsa lain tanpa harus merendahkan diri, tapi bisa di sejajarkan. Keadaan ini seperti dilemma, di satu sisi ini adalah hal yang bagus dan positif karena lidah masyarkat banyumasan ini bisa beradaptasi dengan bahasa manapun, namu di sisisi lain timbul kekhawatiran jikalau nanti semua masyarakat banyumasan meninggalkan bahasanya maka bisa-bisa beberapa puluh tahun kedepan sudah tidak ada lagi dialek yang dianggap sebagai keturunan terdekat dari bahasa jawa kuno ini.

Harapan kita semua, apa yang sudah kita miliki seharusnya tidak hilang, terjual atau tergadaikan, begitu pula dengan dialek kedaerahan yang ada di Nusantara ini, teramat banyak, dan itu adalah kekayaan yang tidak ternilai. Peran serta semua pihak memang sangat diperlukan, terutama pemerintah dalam hal ini depertmen pendidikan dan juga kebudayaan. Masyarakat banyumasan sendiri juga kini sudah tiba saatnya untuk bangun dan sadar bahwa tidak ada lagi ancaman dari manapun, hilangkan semua trauma dan phobia, kita adalah sama dan sejajar dengan etnik lain dibawah paying Nusantara ini.

Mas karo mbok ayune kabeh, aja pada rikuh-rikuh lah angger arep pada ngomong karo basa banyumasan, wong pada ngguyu ya ben jorna bae malah tambah rame mbokkk…. Ya.. uwis dingin ya.. kapan-kapan mengko inyong tek nulis maning sing akeh…. Salam wong pangenyongan. (Dede Loo 10/12/2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar