Entri Populer

Kamis, 13 Oktober 2011

Legenda Ular Putih

白蛇传
Siluman Ular Putih
Legenda Seberang Yang Mendarah Daging di Bumi Nusantara

By Dede Loo

Seekor ular putih yang terobsesi menjadi manusia, setelah bertapa selama 1000 tahun dan meminum pil ramuan dewa, akhirnya dia berubah menjadi seorang gadis cantik yang bernama Bai Zhu Zhuan atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Pai Shu Chen. Bai Zhu Zhuan membaur ke dunia manusia yang kemudian bertemu dengan rekan sejenisnya sesama siluman, dialah siluman ular hijau yang selalu menjelma menjadi gadis cantik pengawal Bai Zhu Zhuan yaitu Xiao Qing.

Bai Zhu Zhuan dan Xiao Qing bertemu dengan seorang lelaki muda nan pandai dalam pengobatan yang bernama Xu Xian atau Han Wen atau juga Han Bun. Mereka menikah dan hidup bahagia, namun Han Wen tidak mengetahui bahwa istrinya adalah seekor siluman ular putih. Suatu saat datanglah seorang pendeta berhati jahat yang suka membasmi siluman, dia adalah Fa Hai atau Hoat Hay. Pendeta Fa Hai mempengaruhi Han Wen dengan memberikan berbagai mantra pengusir siluman, namun suami Bai Zhu Zhuan ini tidak pernah tahu bahwa istrinya lah siluman yang di incar Fa Hai.  

                             
                             (Legenda Siluman Ular Putih Dalam Lukisan)

Suatu saat Fa Hai dan Bai Zhu Zhuan bertempur, karena sedang hamil siluman ular cantik ini pun lemah dan kalah, berdalih berdosa besar, Fa Hai menghukum Bai Zhu Zhuan di dalam pagoda kuil Qin Shan di tepi danau barat (Xi Hu). Setelah melahirkan putranya She Lin, Bai Zhu Zhuan yang masih terkurung dalam pagoda bertapa, suatu saat muncul Dewi Kwan Yin, kemudian semua terungkap, karena menurut Kwan In, Bai Zhu Zhuan dan Xiao Qing telah banyak membantu orang juga, maka hukuman atas kesalahan mereka pun di cabut, akhir cerita Bai Zhu Zhuan dan seluruh kelurganya di bawa ke langit untuk hidup di dunia dewa-dewi.

Itulah ringkasan cerita legenda dari negeri tirai bambu yang memiliki judul “Bai Niang Zhi” atau “Bai Zhu Zhuan”. Sebetulnya legenda yang sangat terkenal ini adalah sebuah karangan tulisan yang dibuat oleh seorang sastrawan pada zaman Dynasti Tang. Cerita ini teramat popular kala itu, sehingga ceritanya mengalir menjadi bermacam bentuk, cerita ini ada di lirik lagu, puisi, lukisan dan pentas opera.

Hari berganti hari, tahun berganti abad hingga ke masa modern sekarang ini, cerita legenda siluman ular putih ini masih sering terdengar bahkan selalu terdengar hingga saat ini. Kisahnya pun bisa kita nikmati dan cermati bukan hanya dari sekedar karya tulisan atau lukisan, melainkan sudah disajikan dalam bentuk yang lebih dramatis yaitu gambar bergerak dan bersuara, film. Sebetulnya saya sendiri kurang begitu mengerti, kapan pertama kali cerita legenda ini dibuat film. Namun dari beberapa sumber yang saya baca memang agak mengejutkan saya. Pada tahun 1934 seorang sineas Indonesia yang bernama The Teng Chun mengangkat cerita legenda Bai Zhu Zhuan ini ke layar perak, dengan judul “Ouw Peh Tjoa” selain judul itu film ini juga memiliki judul alias yaitu “Siloeman Oelar Poeti En Item”. Cerita Bai Zhu Zhuan ini di produksi oleh Java Industial Film pada 1934 dengan gambar hitam putih dan menggunakan bahasa Indonesia tentunya karena film ini adalah film Indonesia asli, walau cerita yang diangkat adalah legenda China daratan. Yang menarik dalam poster film “Ouw Peh Tjoa” ini terdapat tulisan “100% Bitjara Melajoe” yang mungkin memiliki maksud untuk menarik semua kalangan pergi ke bioskop kala itu untuk menonton film ini, karena film ini walau dimainkan oleh actor dan aktris bermata sipit, berkostum mandarin namun menggunakan bahasa nasional yaitu Indonesia. Film ini  bisa dibilang sukses kala itu karena beberapa tahun kemudian sekitar 1936 The Teng Chun dengan perusahaan pribadinya yaitu Java Industrial Film kembali mengangkat cerita siluman ular ini ke layar perak dengan membuat sequelnya yaitu film “Anaknja Siloeman Oelar Poeti”, tentu saja cerita ini menceritakan kisah Bai Zhu Zhuan yang sudah menikah dengan Xu Han Wen dan dikaruniai seoarang putera.

            
                                  (Inilah poster film “Ouw Peh Tjoa” tahun 1934)

Saya sangat yakin sekali di negeri asalnya China, cerita ini pasti juga sudah diangkat ke bioskop dari berpuluh tahun yang lalu, namun yang paling bikin demam di Nusantara ini adalah sebuah sinetron serial buatan Taiwan yang berjudul 新白娘子傳奇 (Xin Bai Niang Zhu Zhuan Qi / The New White Snake Legend). Serial ini dibuat oleh sebuah production house asal Taiwan pada tahun 1992, tentu saja sebelum-sebelumnya cerita ini sudah pernah dibuat, tetapi selalu mengalami improvement setiap kali masa berganti. Dalam cerita ini Bai Zhu Zhuan diperankan oleh wanita yang memang tidak belia lagi namu pas sekali yaitu Zao Ya Zhi atau Anggi Chiu, wanita mantan Miss Hongkong ini sangat cocok memerankan siluman ular yang berwujud wanita lembut nan cantik namun pandai bersilat, sementara itu suaminya Xu Han Wen tidak diperankan oleh serang lelaki, ahkan tetapi seorang aktris yang tidak kalah cantiknya yaitu Ye Thung atau Cecillia Yip. Pemilihan pemeran jatuh ke seorang aktris wanita mungkin bermaksud agar dapat lebih menghidupkan tokoh Han Wen yang terkenal lemah lembut, lugu dan penurut, karena dalam White Snake Legend ini suami Siluman Ular Putih digambarkan sangat lemah secara fisik bahkan tidak mengerti ilmu bela diri sama sekali.

Serial ini tayang di Indonesia pada tahun 1994, dengan dialog yang sangat khas dan di sukai ibu-ibu yaitu “suamiku… istriku..”. Ternyata ulah SCTV kala itu membuahkan sesuatu yang manis sekali, serial ini booming dan fenomenal dikala itu. Dialog khasnya tadi, lagu tema dari serial ini pun laris manis terjual dalam bentuk kaset yang kala itu di jual dengan harga Rp.7500, bahkan beberapa lagu Indonesia pun mengadaptasi dari lagu-lagu soundtract serial ini. Saking suksesnya baru beberapa waktu selesai penayangan, serial ini kembali ditayangkan oleh stasiun televisi yang sama yaitu SCTV. Pada awalnya White Snake Legend tayang seminggu sekali setiap hari selasa jam 19.30 Wib, kemudian setelah tamat ditayangkan kembali pada hari senin di waktu yang sama. Kemudian setelah berhasil menamatkan episode terakhirnya, siluman ini kembali muncul setiap sabtu pukul 14.30 Wib. Keberhasilan serial White Snake Legend ini bahkan sempat membuat SCTV ingin mempertemukan pengisi suara Bai Zhu Zhuan dalam versi dubbing indonesia yaitu Via dengan pemeran asli Anggi Chiu alias Zao Ya Zhi, namun rencana jumpa fans ini gagal entah kenapa.

           
                                     (White Snake Legend Tayang Di SCTV 1994)

Untuk selanjutnya cerita yang sama dalam kemasan yang lain pun bermunculan, antara lain versi Singapura atau bahkan versi hongkong yang hampir setiap tahun membuat ulang, bahkan baru-baru ini actor kawakan Jet Lee juga memerankan Fa Hai dalam film layar lebar yang mengangkat legenda ular putih ini.

Sebuah karya yang bagus memang akan terus abadi sampai kapanpun dan menjadi sebuah legenda atau bahan cerita ke anak cucu seperti kisah dua siluman ular ini. Keberadaan etnis Tiong Hoa yang menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia membuat kisah-kisah klasik dari negeri tirai bambu ini pun ikut menyeberangi lautan luas dan menggema menjadi buah bibir dan karya baru di negeri orang, tidak terkecuali dengan Si Ular Putih ini. Seperti sudah saya ulas di atas, di negeri ini saja cerita ini sudah terdengar dari zaman kerajaan dahulu kala. Semua cerita dari leluhur kita akan terus lestari apabila kita selaku generasi mudanya bisa menjaganya dan rajin untuk membuatnya terus hidup dengan cara apapun, sekarang legenda dari luar negeri ini bahkan sudah sangat mendarah daging di nusantara, mungkin bagi kita yang keturunan Tiong Hoa sudah mendengarnya dari kecil dulu, tentapi bagi masyarakat asli mungkin tau sejak ada tayangan serial white snake legend di SCTV tahun 1994 silam. Bahkan cerita ini sempat di buat versi kartun oleh anak-anak bangsa ini pada awal 2000an dan di paketkan dalam wadah yang berjudul legenda indonesia. Ini membuktikan kalau legenda ini pun diterima di negeri ini, teater koma sudah berkali-kali mengangkat cerita ini ke atas panggung teater, bahkan sinetron indonesia nya juga ada yaitu “Legenda Ular Putih” Produksi Sinemart tahun 2006 lalu.

Bagaimana dengan legenda asli negeri ini… Timun Mas…, Sangkuriang, Bawang-merah bawang putih… apakah akan terdengar hingga ke negeri manca, atau malah dinegeri sendiripun akan sirna terlindas oleh game online atau cerita legenda luar yang di kemas dalam paket film yang sarat akan effect CGI? Ini pertanyaan yang menjadi tanggung jawab kita semua. (Dede Loo 2011/10/13)

Selasa, 11 Oktober 2011

Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak

Bahasa Banyumasan
Bagaimana Nasibmu 30 Tahun Mendatang?

By Dede Loo

“Limbeyane nyempal blarak.. Kartisem, goli mlaku pating kradak ora teyeng kalem… liwat ngarep koplak menyak kulit gedhang keplarak, kepaduk ngrungkebi becak….” (Lambaiannya seperti pelepah kelapa yang sudah patah, Kartisem kalau jalan berisik tidak bisa diam.. lewat depan komplek menginjak kulit pisang terpeleset dan jatuh tengkurep di becak…), itulah sepenggal lirik lagu “Nini Kartisem” yang dipopulerkan oleh Sopsan, sebuah group campur sari dari Banyumas. Untuk saya pribadi orang Cilacap yang sememangnya akrab dan menggunakan bahasa ini setiap hari saja sempat sangat geli dan tertawa mendengar lagu ini, apa lagi orang yang memang berasal dari daerah yang tidak menggunakan dialek Banyumas yang mendengarnya.

Bahasa Banyumasan ini atau dikenal dengan “bahasa ngapak-ngapak” digunakan oleh masyarakat jawa bagian barat, tapi bukan berarti orang jawa barat yang terbiasa berbahasa sunda lho. Dalam hal ini adalah beberapa bagian jawa tengah bagian barat yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu selatan (Purwokerto, Banyumas, Cilacap, Kroya, Gombong kebumen dan sekitarnya), bagian barat (Cirebon, indramayu, sebagian Ciamis dan sekitarnya), serta bagian Utara (Brebes, Tegal, Pemalang dan sekitarnya). Bahkan ada yang aneh, yaitu masyarakat Banten utara yang memang memiliki kesamaan yang sangat dekat dalam berkomunikasi sehari-hari yaitu dengan menggunakan bahasa mereka yang mirip dengan bahasa Banyumasan juga. Ini sangat menarik sekali jikalau dikaitkan dengan sejarah, pada masa lalu banyak orang dari daerah banyumas dan sekitarnya yang di buang ke daerah banten, mereka beranak pinak dan menempati beberapa bagian banten masa itu sehingga sekarang, dengan demikian dibeberapa bagian propinsi yang dulu ikut Tangerang ini terdapat kampung-kampung yang menggunakan bahasa pangenyongan juga. Jikalau dilihat dari jarak yang lebih dari 300 Km itu memang sangat mengejutkan yaaaa……

Sebenernya ada apa, dan mengapa dialek Banyumasan ini selalu menjadi bahan tertawaan apabila terdengar? Sehingga para penggunanya selalu berusaha menutupinya dikala berada di kerumunan orang-orang yang berbahasa selain Banyumasan? Sungguh sangat ironi dan menghawatirkan, padahal sebuah dialek adalah identitas suatu etnik, karena dialek itu adalah asset kekayaan suatu etnik, orang lain akan mengenal kita dari etnik mana bukan karena kulit atau penampilan (kecuali etnik tertentu yang memang memiliki penampilan khas, seperti Tiong Hoa yang putih dan mata sipit, atau etnik papua yang Hitam dan bermuka negrito) melainkan bahasa atau dialek yang kita ucapkan, orang yang berbicara dengan logat sunda tentu sangat jelas dia berasal dari jawa barat dan sekitarnya, dan apabila menggunakan bahasa jawa baku itu sudah pasti berasal dari daerah Yogyakarta ke timur, dan tentu saja yang berbicara Ngapak-ngapak itu sudah pasti dari Banyumas, Cilacap dan sekitarnya.

Bahasa Banyumasan ini kalau ditelaah lebih dalam mungkin adalah bahasa yang paling memiliki hubungan langsung dengan bahasa jawa kuno/bahasa kawi. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa kosa kata yang ada di dalamnya, seperti penggunaan kata “inyong” untuk sebutan “saya” dalam bahasa Banyumas, ini tidak jauh berbeda dengan bahawa jawa kuno yang menyebut “Ingwang” pada sekitar tahun 900 M sampai 1300 M, atau kata “Ingong”  pada tahun 1300 M sampai 1600 M yang memiliki arti sama yaitu “saya”. Selain itu juga ada kata “Gandul” yang memiliki arti papaya atau “Rika” yang memiliki arti “kamu” yang juga biasa digunakan pada zaman Jawa kuno dulu.

Lalu mengapa bahasa Banyumasan itu dianggap sebagai bahasa orang kelas bawah bila dibandingkan dengan bahasa Jawa lainya, apa karena pengucapannya yang khas? Ternyata bukan. Dahulu pada masa kerajaan, pusat pemerintahan terletak di Yogyakarta dan sekitarnya, jadi di daerah jawa tengah bagian barat tidak ada kerajaan, termasuk dareah Banyumas dan sekitarnya, sehingga daerah ini menjadi bagian dari kerajaan yang berada di Yogyakarta tersebut. Pada masa itu tentu saja sering ada utusan atau pesuruh yang datang dari pusat kota untuk sekedar meninjau atau menyampaikan amanat penting ke kepala-kepala pemerintahan di daerah Banyumas. Pesuruh/utusan kerajaan itu biasa disebut “Gandhek” oleh orang-orang setempat, karena pesuruh atau “gandhek” tersebut berasal dari jawa ketimuran maka bahasa jawa yang dipakai adala bahasa jawa yang baku, yang biasa disebut jawa wetanan, atau yang kini digunakan oleh masyarakat Yogyakarta, solo dan sekitarnya. Oleh sebab itu penduduk jawa Banyumas selalu menyebut kata “bandhek” untuk bahasa jawa wetanan tadi, karena berasal dari kata “Gandhek” tersebut. Pada masa-masa itu karena kebanyakan pejabat tinggi menggunakan bahasa jawa baku/wetanan maka orang banyumasan merasa selalu mengalah, dikarenakan menganggap diri mereka adalah kaum yang bertengger dibawahnya.

Pada masa sekarang ini pun seringkali terbawa oleh kebiasaan masa lalu itu, dimana orang Banyumas atau disebut sebagai orang panginyongan seringkali merasa malu atau merasa terpencilkan bila menggunakan dialek ini di muka masyarakat umum, terutama apabila berada di daerah yang tidak menggunakan bahasa Banyumasan, seperti di Jakarta atau tempat lain. Bahkan seringkali orang-orang yang berbahasa banyumasan pada masa ini pun masih diperlakukan seperti masa-masa ratusan tahun yang lalu, orang-orang yang tidak menggunakan bahasa ini terkadang mengkait-kaitkan  dengan warteg (warung tegal) atau dengan para pembantu rumah tangga. Ini terlihat sekali dengan tayangan-tayangan televisi yang memang mau tidak mau akan menjadi perhatian public, dan munkin menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat dirubah, kalau pemilik warteg ya pasti orang-orang jawa tengah bagian barat, atau pembantu rumah tangga ya pasti ngomongnya pake bahasa ngapak-ngapak, saya belum pernah lihat di sinetron atau filem ada peran pembantu rumah tangga orang Batak atau orang dari suku lain, ada sih…… tapi tidak sebanyak orang-orang Jawa yang dipajang sebagai pembantu atau babu, terutama jawa panginyongan tadi.

Bahkan saya pernah berdialog dengan orang yang berasal dari dareah Sumatra utara, dia sendiri keturunan Jawa, namun dia berkata di mata masyarakat luas di sana orang-orang jawa dari jaman dahulu tidak mementingkan pendidikan untuk anak-anaknya, selalu memiliki banyak anak dan anak-anak memiliki pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan orang tuanya, apa bila orang tua petani maka orang tua itu akan berpikir anaknya akan jadi petani seperti dirinya, jadi seperti hidup yang akan terus berulang tanpa perubahan yang berarti. Jarang sekali orang jawa yang menginginkan perubahan terhadap keturunannya kala itu. Apalagi orang jawa memiliki semboyan “banyak anak banyak rejeki” atau “makan gak makan asal kumpul” atau “alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan yang penting terlaksana), memang kalau ditelaah lebih dalam semboyan itu mencermikan sikap pasrah yang cenderung pasif, dimana ini terlihat seperti apapun yang terjadi ya terjadi saja, mereka tidak akan menentang atau berusaha bangkit. Parahnya yang memiliki sifat seperti itu, atau masyarakat jawa yang menganut prinsip itu adalah orang jawa pangeyongan di kebanyakannya, ini juga terbukti dimana bila di lihat dari latar belakang pendidikan dan peraih gelar sarjana kebanyakan orang-orang jawa wetanan,  tidak demikian dengan daerah Cilacap, banyumas dan sekitarnya, namun keadaan sudah sedikit berubah akhir-akhir ini. Tetapi tidak menutup kemungkinan masih banyak sekali masyarakat yang menganut prinsip tersebut, apalagi masyarakat yang tinggal jauh diperkampungan atau pesisir.

Ini sangat kontras sekali dengan orang-orang dari suku lain seperti Batak atau Padang apa lagi dengan bangsa keturunan. Saya mohon maaf bukan mau membanding-bandingkan suku, namun hanya sebagai pandangan saja, suku batak memiliki watak keras dan ambisius, mereka juga sangat mementingkan pendidikan, cita-cita yang sangat popular tentu saja pengacara, dan menjadi pengacara mana bisa hanya tamat SD, karakter orang-orang batak juga tegas, mereka tidak akan tinggal diam apabila mendapat perlakuan buruk, ini sangat berbeda dengan masyarakat jawa. Oh ya seperti saya ungkap diatas dalam tayangan televisi peran pengacara biasa diperankan oleh orang batak dan peran pembantu diperankan oleh orang jawa, terutama jawa panginyongan.

Itu semua adalah fakta yang ada, dimana masyarakat Banyumas masih merasa dirinya itu lebih rendah dari masyarakat jawa bagian lain atau bahkan dari suku lain, walau jaman sudah berganti namun adat tersebut atau karakter yang merasa dirinya itu hanya sekedar hamba seperti phobia dan trauma hingga ke anak cucu.

Dalam pergaulan modern seperti ini, seperti saya sendiri yang memang dilahirkan dan di besarkan di Kroya Cilacap, tentu saja sangat mengerti dan fasih dalam mendengar dan mengucapkan kata-kata dalam dialek banyumasan ini, namun memang saya sendiri pun merasa sungkan sekali untuk mengucapkan jikalau dengan teman atau orang yang bukan berasal dari daerah saya, kekawatiran akan di tertawakan atau direndahkan selalu muncul dalam benak saya. Yang lebih parah lagi bertahun-tahun saya tinggal di luar kampung halaman saya, apa bila saya pulang saya dapati hanya orang-orang tua saja yang berbicara menggunakan dialek banyumasan asli, namun untuk anak-anak belasan hingga 25 tahunan mereka menggunakan bahasa indonesia yang beraroma banyumasan. Seperti di toko atau dipasar, pelayan atau penjual dagangan itu menggunakan bahasa indonesia.

Ini salah siapa? Jikalau kita lihat ke masa lalu, apa kita harus menyalahkan nenek moyang kita dulu?, atau kita sendiri yang memang tidak pandai merubah nasib. Dalam dunia pendidikan juga turut berperan, kita ingat saja jaman SD dan SMP dulu, muatan local yaitu pelajaran Bahasa Dareah yang kita pelajari adalah bahasa Jawa baku yang biasa dipakai di Yogyakarta, solo dan sekitarnya, namun bahasa asli Banyumasan atau bahasa pangenyongan atau bahasa ngapak-ngapak tidak ada mata pelajarannya, semua lagu daerah jawa yang di ajarkan juga tidak satupun menggunakan bahasa dareah Banyumasan. Bahkan saya pribadi mendengar ada lagu berbahasa banyumas ya lagu “Nini Kartisem” itu tadi, sebelumnya munkin lagu-lagu seperti “kembang kilaras” atau “waru doyong” yang sudah keburu di cap sebagai lagu cirebonan.

Ini sungguh sangat menghawatirkan, padahal lidah dari orang-orang jawa banyumasan ini adalah yang paling flexible dibandingkan dengan lidah dari jawa bagian lain, saya sendiri tidak pernah ada yang menyangaka kalau bahasa asal saya adalah bahasa ngapak-ngapak, dibandingkan dengan siapa saja yang berasal dari dareah jawa wetanan hingga Surabaya dan sekitarnya dimanapun dia tinggal, selama apapun pasti dialek asal masih terdengar dengan jelas. Namun tidak untuk orang-orang dari jawa banyumas, lidah kita akan fasih sefasih orang asli bahasa tersebut, kita bisa bicara menggunakan bahasa Inggris tanpa “mendhok” jawa, atau bahasa Mandarin dengan bagus seperti orang Taiwan. Lihat para TKW yang pulang dari Taiwan atau Hongkong, mereka sangat fasih dan tidak kelihatan sekali bahasa ngapaknya jika sedang bertutur dalam bahasa china. Ini merupakan suatu bukti bahwa masyarakat banyumasan bisa untuk berbaur dengan bangsa lain tanpa harus merendahkan diri, tapi bisa di sejajarkan. Keadaan ini seperti dilemma, di satu sisi ini adalah hal yang bagus dan positif karena lidah masyarkat banyumasan ini bisa beradaptasi dengan bahasa manapun, namu di sisisi lain timbul kekhawatiran jikalau nanti semua masyarakat banyumasan meninggalkan bahasanya maka bisa-bisa beberapa puluh tahun kedepan sudah tidak ada lagi dialek yang dianggap sebagai keturunan terdekat dari bahasa jawa kuno ini.

Harapan kita semua, apa yang sudah kita miliki seharusnya tidak hilang, terjual atau tergadaikan, begitu pula dengan dialek kedaerahan yang ada di Nusantara ini, teramat banyak, dan itu adalah kekayaan yang tidak ternilai. Peran serta semua pihak memang sangat diperlukan, terutama pemerintah dalam hal ini depertmen pendidikan dan juga kebudayaan. Masyarakat banyumasan sendiri juga kini sudah tiba saatnya untuk bangun dan sadar bahwa tidak ada lagi ancaman dari manapun, hilangkan semua trauma dan phobia, kita adalah sama dan sejajar dengan etnik lain dibawah paying Nusantara ini.

Mas karo mbok ayune kabeh, aja pada rikuh-rikuh lah angger arep pada ngomong karo basa banyumasan, wong pada ngguyu ya ben jorna bae malah tambah rame mbokkk…. Ya.. uwis dingin ya.. kapan-kapan mengko inyong tek nulis maning sing akeh…. Salam wong pangenyongan. (Dede Loo 10/12/2011)

Rabu, 05 Oktober 2011

Kisahku Dan Mahapatih Gajah Mada

Mahapatih Gajah Mada
Kisahku .. & Kerumitan Sebuah Legenda Yang Tak Kunjung Tersampaikan  Ke Layar Kaca

By Dede Loo
             Siapa tidak tahu dengan tokoh legenda yang teramat sangat akrab dari semasa kita duduk di bangku sekolah dasar dulu. Wajahnya selalu menghiasi banyak dari beberapa versi buku cetak sejarah perjuangan bangsa. Adalah Gajah Mada, seorang pejuang yang dikenal sebagai Bapak pemersatu bangsa di Nusantara ini. Dia hidup pada era keemasan Kerajaan Termashur Majapahit. Menurut beberapa sumber dia adalah rakyat jelata yang tidak punya darah ningrat sama sekali, yang kemudian menjadi bekel, sebuah jabatan kecil di istana yang setingkat prajurit. Karena dia ulet, pintar dan tentu saja berbakat, akhirnya murid dari Naga Baruna ini berhasil menjadi seorang Mahapatih yang memimpin expedisi hingga ke manca Negara dengan membawa ratusan ribu tentara melintasi lautan luas, demi menaklukan negeri-negeri berhampiran untuk mempersatukannya di bawah panji gula kelapa (dalam hal ini melambangkan merah dan putih) di bumi Nusantara.
Sumpah palapanya sangat terkenal sekali, demi merealisasikan ambisinya untuk mempersatukan Nusantara, dia rela untuk meninggalkan kebahagiaan duniawi. Beliau mengabdi untuk Majapahit hingga usia tuanya, untuk kemudian Beliau meninggalkan keduniawian untuk bertapa di sebuah air terjun di wilayah Probolinggo, Madakari Pura di kaki Gunung Bromo. Sampai dengan detik ini tidak ada sumber yang memastikan keberadaan makam orang terkenal ini. Beberapa sumber menyatakan bahwa Gajah Mada moksa, beliau meninggalkan dunia tanpa kematian, atau hilang raga namun semangat dan jiwanya masih ada hingga saat ini.
Sebuah perkumpulan yang menyebut diri mereka rumah Produksi mencoba untuk mengangkat legenda ini kesebuah karya film dan sinetron kolosal. Mereka memulai kegiatan untuk membedah dan mengangkat Gajah Mada sejak tahun 1996, dimulai dari tempat asal gajah mada yaitu daerah jawa timur kemudian berpindah, berpindah dan berpindah. Tahun demi tahun berganti hingga pada tahun 2006 tepatnya bulan Febuari, saya bergabung ke dalam komunitas ini.
Sedikit mengungkit kisah hidup saya, sedari kecil saya sangat menyukai cerita silat, termasuk nonton film-film yang beradegan laga apa lagi jikalau menggunakan kostum tradisional dan terbang kesana-kemari… itu sangat menarik bagiku. Biasanya itu adalah sebuah khayalan anak-anak yang kemudian akan sirna dan berganti dengan hobby lain yang lebih masuk akal ketika dewasa nanti. Namun tidak dengan diri saya…, semakin beranjak umur maka semakin penasaran akan hal-hal tersebut, terinspirasi film silat dari indonesia dan hongkong saya pun tidak henti mencari informasi melalui buku maupun media lain mengenai hal-hal apa saja yang ada di dalam cerita tersebut termasuk sejarah yang terkandung di dalamnya. Saya mempelajari beladiri dan sangat suka membaca buku sejarah.
Saya meneruskan pendidikan ke negeri jiran setelah tamat SMK, mungkin terinspirasi hal diatas juga maka bakat seni saya juga hidup, berawal suka menyanyi akhirnya di negeri tetangga ini saya selalu ikut lomba nyanyi di Mall-mall. Hingga pada suatu ketika saya di hampiri oleh 2 orang pria yang mengaku dari sebuah agency modeling. Dia meminta saya untuk datang ke kantornya keesokan harinya. Setelah saya sampai mereka menawari saya untuk mengikuti Mr/Ms Valentine 2004. Saya sempet menolak karena saya tau itu dari pamphlet yang ada di hampir semua sudut kota penang, kalau pemilihan itu melalui audisi dan menurut cerita orang sudah hampir 2500 orang mendaftarkan diri. Namun mereka maksa saya untuk ikut tanpa jalan audisi dan langsung menjadi salah satu dari 12 orang Grand Finallis pria, dengan alasan wajahku memiliki kelainan dibandingakan wajah cowok melayu local. Aku menyetujuinya.
Akhirnya acara di gelar pada 14 Febuari 2004 setelah seminggu saya digodok untuk berjalan di cat walk dan berpose untuk pemotretan. Sebelumnya kira-kira sebulan sebelum hari H, saya sempet di bawa kesana dan kemari bersama ke-23 finalis lain (kita berpasangan) untuk sesi pemotretan yang dilakukan di beberapa tempat berbeda dari indoor dan outdoor sampai ke hutan-hutan.
Setelah acara selesai saya dilanjutkan kontrak dengan sebuah perusahaan perawatan kecantikan terkemuka di sana, aku di kontrak mulai 28 feb 2004 hingga 28 feb 2005. Sepanjang keterikatan saya tersebut saya sangat sibuk untuk kegiatan modeling di catwalk maupun menyanyi. Hingga suatu saat saya harus kembali ke tanah air pertengahan 2005. Karena ternyata saya enjoy melakukan kegiatan diatas akhirnya aku ingin mengulangi nya di negeri sendiri. Saya tidak tahu betapa ini sangat berbeda dari semua hal yang aku alami di negeri jiran itu. Saya berkali-kali di tipu oleh agency modeling di Indonesia dan juga production house. Hingga pada bulan Febuari 2006 saya dipertemukan dengan sebuah tempat yaitu kawasan hutan buatan CIFOR (Center International Forest Research) yang berada di desa Sindang Barang Jero, Dramaga Bogor.
Ketika itu saya datang sekitar jam 10 pagi, udara disana lumayan segar karena di tengah hutan, saat mobil berhenti dan saya keluar, saya sempat terpegun karena ada sebuah bangunan Istana kerajaan jawa di depanku, saat itu istana itu masih sebuah balai besar beratap joglo dengan sedikit ornament jawa trandisional khas sinetron silat. Di depan set istana itu saya lihat ada beberapa orang pemuda tanggung yang sedang berlatih bela diri. Mereka Nampak kucel dan kotor mungkin karena setiap hari harus berlatih di lapangan dengan fasilitas yang seadanya.
Saya diperkenalkan kepada seorang yang sangat karismatik dimata saya, dia adalah Renny Mursantio Masmada. Kita biasa memanggilnya Om Renny atau Renny Masmada, orangnya berpembawaan kalem, kebapakan  berwibawa dan murah senyum. Beliau adalah penggagas dari semua ini, semua cerita Gajah Mada ini, dia juga adalah orang yang paling mengerti tentang pahlawan besar ini, sudah puluhan tahun beliau melakukan reset untuk ini. Saat itu tampangku yang masih lumayan fresh, baru pulang dari negeri orang yang memiliki fasilitas bagus didalamnya serta perawatan diri yang rutin, aku mendapatkan sebuah peran setelah saya melalui casting. Saat itu saya mendapatkan peran sebagai Toa Lun, seorang pendekar kitai nagari (China) yang datang bersama ke 5 rekannya untuk membunuh Tribuana Tungga Dewi atas dasar penganiayaan yang dilakukan Kertanegara terhadap paman seperguruan mereka dimasa singosari yaitu Meng-Chi yang di potong kupingnya. Ya.. kita di casting untuk kesatria yang ternyata salah menagih hutang istilahnya. Saya gembira sekali karena saya membawa pulang sekenario yang juga ditulis oleh S.Tijab yang berisi ratusan halaman, saya juga gembira karena saya sudah tanda tangan kontrak untuk beberapa episode awal, dan untuk episode yang rencana totalnya 356 episode itu akan menyusul kemudian.
Saat itu saya tinggal di Cibubur, karena setiap hari harus datang untuk berlatih kung-fu dan reading sekenario maka aku memutuskan untuk pindah ke Bogor, saya tinggal berhampiran dengan lokasi istana Majapahit dan komplek lokasi shooting sinetron kolosal ini. Hari demi hari aku lalui seperti anak sekolah, pagi jam 07:00 aku datang ke ballaiurang (begitu kita meyebut bangunan utama set Istana Majapahit yang menyerupai pendopo raksasa ini) untuk belajar demi mendapatkan hasil yang baik saat take shoot nanti.
Dari Cuma belasan orang yang tergabung di sini hingga ratusan orang, karena penduduk sekitar juga ikut dilibatkan dalam Produksi mega kolosal ini. Suasana saat itu memang sangat menyenangkan, dekat dengan masyarakat yang hangat, semaua terasa seperti keluarga. Semua ada disini, ada gembira, ada tertawa ada juga kesedihan campur aduk jadi satu. Terkadang ada juga artis yang sudah punya nama datang ke lokasi dan juga ke kantor kami yang saat itu bernama PT. HMP Numismatic Indonesia Film Production.
Hari berganti hari, para pemain yang foto dan nama peran sudah terpampang di dinding kantor PH ini sudah terkumpul semua dilokasi mengikut schedule, akhirnya soft launching digelar di IPB bogor. Kemudian lagu tema yang dibuat sangat bersemangat dan indah menggelegar gagah oleh musisi kenamaan Indonesia Areng Widodo pun ikut diperdengarkan berkali-kali di lokasi. Suasana riuhnya shooting sudah sangat dekat, aku tidak sabar untuk menggunakan kostum seorang kesatria China dan membawa sebilah pedang. Aku terbayang untuk melakukan adegan di salah satu scene yaitu saat saya bertempur dengan Ra Kembar (diperankan oleh Torro Margens) di depan Istana Majapahit.
Hari dimana take pertama dimulai, saat itu pengambilan gambar secara random, tidak berurutan karena untuk membuat sebuah trailer terlebih dahulu. Ternyata shooting itu menyenangkan tapi juga capek bukan kepalang, dari subuh ketemu subuh.., makan nasi kotak yang kadang sudah membeku, mata mengantuk tapi masih memakai make up tebal di malam hari dengan wig yang membuat kepala gatal. Saat shoot siang hari ketika lapar atau haus dan ingin jajan di tepi jalan maka saya harus berjalan dengan pakaian ala peran saya ke jalan depan untuk membeli es cendol, maklum kan gak punya asisten.
Sampai pada suatu ketika shooting tiba-tiba berhenti, saya tidak tahu apa penyebabnya, namun beredar kabar yang kurang enak di dengar, tapi saya tidak peduli dalam hati hal semacam ini hanya membuat semangat saya turun saja. Di saat senggang tidak ada shooting saya dan yang lain sering bertandang ke lokasi dan bertemu dengan Om Renny untuk mendengarkan cerita-cerita dari beliau, terkadang kita menyanyi bersama dengan mendendangkan lagu yang beliau ciptakan. Perlu diketahui Renny Masmada adalah seorang multi talent dari sendi peran, teknik perfilman, teater, penulis, penyanyi dan pencipta lagu…
Setelah beberapa lama vacuum, akhirnya shooting dimulai lagi, peralatan shooting pun kembali datang ke lokasi, lampu-lampu besar, kamera, serta kuda-kuda sudah mulai dilatih kembali. Anak-anak, ibu-ibu, Bapak-bapak bahkan ternak dari masyarakat sekitar juga dilibatkan shooting kali ini. Ramai sekali, menyenangkan dan hangat. Tidak terasa tahun sudah berganti, aku terbuai, banyak temen, saudara baru dan pengalaman yang aku dapat. Namun saya lupa tujuan awalnya. Ya tujuan awal adalah pembuatan sebuah mega sinetron kolosal dengan judul “Mahapatih Gajah Mada” dengan dana yang tidak sedikit. Sudah sekian lama sinetron ini juga belum bisa ditayangkan karena berbagai masalah yang harus direvisi. Terkadang apa yang menurut kita bagus dan keren, menurut penonton dirumah itu tidak enak dilihat. Sinetron ini memang lebih mengedepankan intrik politik dan sejarah yang ada di kisah Gajah Mada, namun tidak sedikit pula menyuguhkan adegan laga yang fantastis, namun produser bersabda bahwa sinetron ini tidak akan menampilkan adegan terbang yang berlebihan dan juga tidak menampilkan adegan laga yang menggunakan banyak effect visual, jadi agak menantang arus memang.
Namun tidak lama kemudian shooting kembali berhenti, orang-orang satu persatu meninggalkan lokasi, desa Sindang Barang Jero yang biasanya ramai sekali di datangi orang, baik itu yang ingin ikut shooting walau hanya sebagai figuran yang harus berlarian di kejar bandit di pasar dengan honor hanya 35ribu maupun yang hanya ingin melihat seperti apa sih shooting sinetron itu, atau ah… kaya apa sih rupa artis ini jika di lokasi. Secara tidak langsung tempat ini sudah seperti Hollywood-nya kota Bogor, karena banyak sekali film dan sinetron yang mengambil lokasi ini sebagai set. Penduduk sekitar juga di untungkan karena kontrakan mereka penuh, yang tadinya tidak buka warung jadi punya warung.
Tempat ini terus naik dan turun, terkadang shooting nanti break lagi lama, begitu seterusnya hingga suatu saat shooting ini benar-benar berhenti, sungguh malang nasib pemain-pemain muda dari daerah yang masih duduk di bangku sekolah. Mereka rela pindah sekolah demi terlibat Produksi ini, namun Produksi harus berhenti ditengah jalan. Tentu saja ini meninggalkan beban mental bagi mereka, pasti di ejekin temen di sekolah dan ini … dan itu…, kini penduduk Majapahit di lokasi ini semakin berkurang, sudah tidak ada lagi anak-anak berlatih silat depan istana buatan ini, tidak ada lagi ocehan-ocehan lucu dari salah satu penata make up yang biasanya bikin suasana heboh. Satu persatu pergi, dan tinggal segelintir saja, production house ini dengan pemilik tanah yang di sewakan untuk shooting pun kabarnya ada konflik mengenai pembayaran, demikian juga para pemain yang punya banyak hutang di warung-warung sekitar membuat warung-warung ini tutup. Ini bener-bener mengenaskan, kondisi semakin parah ketika listrik di lokasi di cabut PLN, rasa percaya yang aku tanam di sana pun mau tidak mau harus meleleh dan mengalir ke danau situ gede, sebuah danau di lokasi shooting yang menyimpan banyak kenangan indah di sana buat saya.
Dalam hati kecil saya sangat sedih, bukan masalah karena gagal tayang atau gagal jadi artis laga, namun semua orang sudah tidak ada di sini, aku bukan orang asli kampong ini, aku mulai berpikir untuk melompat namun tidak tau harus kemana. Tampang ku yang awalnya lumayan bersih dan cling dengan isi dompet tidak pernah nihil, handphone yang keren kala itu, kini tidak punya apa-apa lagi, boro-boro hape, baju yang mahal pun kini keliatan seperti gembel karena air yang jelek untuk mencuci, tidak ada biaya perawatan lagi, rambut aku tidak terawat, semua terbalik…. Bahkan barang-barang aku sempet ada yang hilang entah kemana…, berat badan aku turn belasan kilo.
Saya berpikir lagi, kenapa aku begitu jauh terperosok, namun pengalaman yang aku dapat teramat tidak ternilai harganya, karena tidak semua bisa merasakan pengalaman seperti ini, saya yakin penggagas program ini pun tidak bermaksud menterlantarkan kita semua. Semoga saja.
Saya pindah ke tangerang saya mulai bekrja di sebuah perusahaan televisi berbayar, kemudian setahun berikutnya saya pindah kerja di perusahaan Taiwan, ini sebuah pabrik sepatu, dengan kemampuan bahasa mandarin ku aku di terima sebagai salah satu staff department di sana.
Dalam benak saya, semua hal yang aku ceritakan diatas sudah seperti mimpi panjang yang bisa aku share ke orang-orang yang aku kenal setelahnya. Beberapa kali juga saya mendengar dan mendapat panggilan dari temen-temen yang masih ada di Produksi itu bahwa mereka akan memulai Produksi lagi, kali ini di tempat lain, di pulau Bali, saya tidak memperdulikannya karena saya sibuk bekerja yang jelas-jelas memberi saya penghasilan. Kabar bubar dari Bali pun sampai di telingaku, dan datang kabar mulai Produksi lagi kali ini dari pandeglang dengan orang-orang yang sama namun banyak orang-orang baru, namun hal ini juga tidak lama dan kemudian menghilang lagi entah kemana.
Jikalau di urut dari jaman pertama kali di gagas, pembuatan sinetron kolosal ini pertama mau dibuat dan diusahakan pembuatannya tahun 1996, bayangkan saat itu aku masih kelas 3 SMP, dan aku bergabung 11 tahun kemudian, 2 tahun kemudian aku tinggalkan kegiatan itu hingga saat ini sudah 2011 akhir, jadi sudah hampir 5 tahun saya meninggalkan Gajah Mada dan mereka sudah berpindah, memulai shooting baru kemudian bubar lagi, dan pindah lagi dan bubar lagi begitu seterusnya bahkan munkin hingga hari ini. Karena saya masih membaca berita baru mengenai Produksi hal yang sama entah itu dari orang lama atau orang baru. Bayangkan sebuah sinetron dibuat dari 1996 hingga 2011 totalnya sudah 15 tahun belum selesai, dan belum tayang juga.. pemain berganti ratusan kali dan sebagainya… dan sebagainya.
Sekarang keadaanku jauh lebih baik dari saat itu dulu, aku hidup sebagaimana masyarakat pada umumnya, pagi ke kantor dan sore pulang, awal bulan terima gaji dan begitu seterusnya, ini membuat saya lebih berarti dari pada harus mengejar mimpi yang tidak pasti. Kalau harus dituruti mau sampai kapan? Sampai detik ini saya juga tidak tahu mengapa kisah Gajah Mada sangat sulit untuk dikemas dalam bentuk film, pertunjukan dan sejenisnya, mungkin untuk buku sudah banyak diterbitkan,,akan tetapi karya dalam bentuk film, sinetron dan sejenisnya selalu gagal di tengah jalan. Munkin ada misteri tersembunyi dibalik itu semua, atau mungkin pahlawan ini tidak nyata atau bahkan beliau Gajah Mada yang moksa ini melihat kita? Beliau merasa tidak pantas? Sehingga semua di gagalkan? Atau memang karena tidak ada keseriusan dari para sineas kita untuk membuatnya menjadi sebuah maha karya… , karena mungkin mereka beranggapan dana yang dibutuhkan akan sangat mahal, makanya lebih baik membuat sinetron abal-abal saja yang penting TV ada gambarnya, atau bikin film hantu saja yang penting bioskop ada film Indonesianya.
Terus kalau begitu kapan kita punya film seperti Chrouching Tiger Hidden dragon? Atau Hero atau sinetron semacam Dong Yi..? semuanya kembali ke diri kita masing-masing. Semoga cerita ini menjadi pembelajaran bagi para pembaca yang bercita-cita menjadi penghibur, tidak halus jalannya dan tidak semua orang bisa ketemu jalan itu, dan juga para insan film semoga terinspirasi agar punya niat tulus untuk mengangkat Beliau sang pemersatu bangsa ini menjadi sebuah maha karya agar dapat bercerita dengan jelas, indah dan menarik kepada anak cucu, dan seluruh khalayak di dunia ini kalau Indonesia memiliki seorang pahlawan besar kala itu, dan memiliki kerajaan super berpengaruh kala itu. (Dede Loo, 2011/10/05)