Entri Populer

Selasa, 06 Desember 2011

Kemana Legenda Indonesia..?: Teman Bercerita Dimasa Kecil

Kemana Legenda Indonesia..?: Teman Bercerita Dimasa Kecil: Masa kecilku dulu terjadi pada tahun 80-an, dimana hiburan kita yang paling populer adalah bermain "junjangan" atau permainan tradisional tu...

Kemana Legenda Indonesia..?: REVIEW TUTUR TINULAR VERSI 2011

Kemana Legenda Indonesia..?: REVIEW TUTUR TINULAR VERSI 2011: Dulu sekitar tahun 1995 pertelevisian Indonesia digempur secara bertubi-tubi oleh tayangan serial maupun film silat import dari hongkong. Sa...

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak: Bahasa Banyumasan Bagaimana Nasibmu 30 Tahun Mendatang? By Dede Loo “Limbeyane nyempal blarak.. Kartisem, goli mlaku pating kradak ora tey...

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak

Kemana Legenda Indonesia..?: Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak: Bahasa Banyumasan Bagaimana Nasibmu 30 Tahun Mendatang? By Dede Loo “Limbeyane nyempal blarak.. Kartisem, goli mlaku pating kradak ora tey...

Kemana Legenda Indonesia..?: Legenda Ular Putih

Kemana Legenda Indonesia..?: Legenda Ular Putih: 白蛇传 Siluman Ular Putih Legenda Seberang Yang Mendarah Daging di Bumi Nusantara By Dede Loo Seekor ular putih yang terobsesi menjadi manusi...

Kemana Legenda Indonesia..?: Fakta Sejarah Yang Disamarkan

Kemana Legenda Indonesia..?: Fakta Sejarah Yang Disamarkan: Apakah Kita Sudah Menghargai Sejarah…? Nyo Lai Wa… Seorang Penguasa Majapahit Keturunan China dan Fakta Runtuhnya Kerajaan Super Besar K...

Fakta Sejarah Yang Disamarkan


Apakah Kita Sudah Menghargai Sejarah…?
Nyo Lai Wa… Seorang Penguasa Majapahit Keturunan China dan Fakta Runtuhnya Kerajaan Super Besar Kebanggaan Rakyat Jawa Oleh Budaya Islam

Apabila kita mengingat masa dimana kita masih duduk dibangku sekolah dahulu, pelajaran sejarah terutama sejarah nasional teramat sangat pendek, dimulai dari zaman pra sejarah kemudian zaman kerajaan  dilanjutkan dengan datangnya bangsa portugis selaku penjajah, bangsa belanda, jepang dan kemudian masa revolusi bangsa ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sungguh teramat pendek dan dangkal sekali, di sini terlihat sekali  bahwa banyak fakta-fakta yang justru teramat penting tetapi sengaja dikubur dan tidak di ungkapkan ke generasi selanjutnya. Banyak alasan yang menyelimuti mengapa fakta ini tidak dan sengaja tak terungkapkan. Mulai dari kekawatiran segelintir orang yang menyebut dirinya penguasa akan jatuhnya reputasi dari faham yang mereka anut, sampai dengan pendapat akan satu hal “sebegitu besarkah peran orang asing itu di negeri ini”..? pendapat-pendapat itu sungguh naif apa bila kita pikir, suatu bangsa tidak mungkin akan tumbuh besar sendiri tanpa pengaruh dari bangsa lain, pengaruh bangsa lain pun tidak selamanya akan menguntunkan bagi suatu bangsa, bahkan bisa menghancurkan seperti kejadiar ratusan tahun yang silam dimana kerajaan-kerajaan hindu budha yang teramat masyur, salah satunya adalah kerajaan besar kebanggaan rakyat jawa yaitu Majapahit yang hancur akibat ideology islam yang keras dan tidak cocok diterapkan.

Berikut ini adalah kisah yang bisa kita sebut fakta yang telah lama terpendam dan teronggok di mana-mana ,…

Inilah daftar Raja-Raja Majapahit sesuai penuturan Pararaton, Nagarakrêtagama dan beberapa prasasti yang ditemukan serta Kronik Tionghwa, klenteng Sam Po Kong, Semarang :

1.        Nararyya Sanggramawijaya mengambil abhiseka (gelar) Sri Krêtarajasa Jayawarddhana  (1294-1309 M), wafat di Antahpura

2.        Sri Jayanagara mengambil abhiseka (gelar) Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara (1309-1328 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Daha I. Dicandikan di Kapopongan, nama candi Srênggapura. Arcanya dibangun di Antawulan. 

3.        Rani Wijayatunggadewi mengambil abhiseka (gelar) Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1350 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan I. Dicandikan di Panggih, nama candi Giri Pantarapura. 

4.        Sri Hayam Wuruk mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasanagara Sang Hyang Wêkasing Sukha (1350-1389 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan II.

5.        Aji Wikrama atau Wikramawarddhana mengambil abhiseka (gelar) Sri Hyang Wisesa, Orang China mengenalnya sebagai Yang Wi Si Sa (1389-1427 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Mataram I. Wafat di Indrabhawana, dicandikan di Tanjung, nama candi Paramasukha Pura

6.        Sri Ratu Prabhu Stri  mengambil abhiseka (gelar) Rani Suhita. Orang China mengenalnya dengan nama Su King Ta (1427-1447). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Pajang II  lalu Bhre Daha IV. Dicandikan di Singajaya.

7.        Bhre Tumapel II dikenal sebagai Krêtawijaya (1447-1451 M). Setelah beliau wafat, candinya dinamakan Krêtawijaya Pura

8.        Sri Krêtarajasa (atau mungkin Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma) mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasawarddhana Sang Sinagara (1451-1453 M). Dicandikan di Sêpang.

Kemudian Negeri itu Kosong selama tiga tahun.

9.        Bhre Wêngkêr II mengambil abhiseka (gelar) Hyang Purwawisesa (1456-1466 M), dicandikan di Puri

10.      Bhre Pandhan Salas III, dua tahun menjadi Raja lantas meninggalkan istana (1466-1468 M)

11.      Sri Singawarddhana (1468-1474 M)

12.      Bhre Krêtabhumi. Orang China mengenalnya dengan nama Kung Ta Bu Mi (1474-1478 M) Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kêling IV. Wafat dimakamkan di pemakaman Tralaya.


Sepeninggal Prabhu Hayam Wuruk pada tahun 1389 Masehi, tahta lantas diserahkan kepada Bhre Mataram I atau Wikramawarddhana, menantu sekaligus kemenakan beliau. Wikramawarddhana adalah putra tertua dari Bhre Pajang I atau Rajasadhuhiteswari, adik kandung Prabhu Hayam Wuruk yang menikah dengan Raden Sumana atau Bhre Paguhan I. Wikramawarddhana menikahi putri Prabhu Hayam Wuruk, Kusumawarddhani.

Dari pernikahan tersebut, lahirlah Hyang Wekasing Sukha. Sedangkan dari selir, Wikramawarddhana memiliki satu putri dan dua putra.  Putri sulung bernama Sri Ratu Prabhu Stri yang kelak terkenal dengan gelar Rani Suhita, kedua Bhre Tumapel II yang kelak terkenal sebagai Krêtawijaya dan yang bungsu adalah Bhre Tumapel III atau Sri Krêtarajasa.

Sepeninggal Wikramawarddhana, tahta diserahkan kepada Sri Ratu Prabhu Stri pada tahun 1427 Masehi karena putra mahkota, Hyang Wekasing Sukha sudah meninggal diusia muda pada tahun 1311 Saka atau 1389 Masehi, tepat saat tahta baru dilimpahkan dari Prabhu Hayam Wuruk kepada Wikramawarddhana.

Sri Ratu Prabhu Stri atau Rani Suhita menikah dengan Aji Ratna Pangkaja atau Bhre Kahuripan V, putra sulung pasangan Surawarddhani atau Bhre Pawanawan I, putri bungsu Prabhu Hayam Wuruk dengan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I. Raden Sumirat adalah putra Raden Sotor. Sedangkan Raden Sotor adalah saudara tiri Prabhu Hayam Wuruk.

Sepeninggal Rani Suhita, karena tidak dikaruniai seorang putra, maka tahta disepakati akan dipegang oleh kedua adik Rani Suhita secara bergiliran. Pertama kali yang dilimpahi tahta adalah Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya pada tahun 1447 Masehi. Pada tahun 1451 Masehi, Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya wafat, dicandikan dengan nama resmi candi Krêtawijaya Pura. Setelah Krêtawijaya, Pararaton, tidak begitu jelas dan terlalu singkat menguraikan siapa penggantinya. Bisa jadi adalah Krêtarajasa, adik bungsunya. Dan Krêtarajasa inilah yang dikenal dengan gelar Rajasawarddhana Sang Sinagara. Dan sosok inilah yang disebut-sebut sebagai ayah dari Bhre Mataram, Bhre Kahuripan, Bhre Pamotan dan Krêtabhumi dalam akhir Pararaton. Jika benar, maka ungkapan bahwa Bhre Pandhan Salas III adalah kemenakan dari keempat bersaudara ini, maka bisa ditetapkan bahwa Bhre Pandhan Salas III adalah putra Bhre Wêngkêr II yang menikah dengan Bhre Matahun II.

Namun menurut Prasasti Waringin Pitu, tahta lantas dilimpahkan kepada keponakan Krêtawijaya, putra Bhre Tumapel II atau Krêtarajasa yang sulung, yaitu Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma atau Rajasawarddhana Sang Sinagara pada tahun 1451 Masehi. Jadi yang dikenal sebagai Sang Sinagara menurut prasasti Waringin Pitu, tak lain adalah putra Krêtarajasa, keponakan Krêtawijaya.

Surawarddhani dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I menurut Pararaton memiliki satu orang putra dan tiga orang putri. Yang sulung Bhre Kahuripan V atau Aji Ratna Pangkaja, yang menikahi Rani Suhita, kedua Sang Ratu di Mataram yang dinikahi oleh Wikramawarddhana, ayah Rani Suhita (jadi adik Aji Ratnapangkaja dinikahi oleh mertuanya sendiri), ketiga Bhre Lasem IV yang dinikahi Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya, adik Rani Suhita dan yang keempat Bhre Matahun II yang dinikahi oleh Bhre Wêngkêr II anak dari Krêtawijaya. Pernikahan ini sangat unik, dimana adik-adik Aji Ratna Pangkaja dinikahi oleh Wikramawarddhana, anak Wikramawarddhana (Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya) dan cucu Wikramawarddhana (Bhre Wêngkêr II, anak Krêtawijaya).

Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya, menikah dengan Bhre Lasem IV, adik dari Aji Ratna Pangkaja, putri Surawarddhani dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I seperti disebutkan diatas. Dari hasil pernikahan itu lahirlah Bhre Wêngkêr II dan Bhre Paguhan III.[1] Sedangkan Bhre Tumapel III atau Krêtarajasa atau Rajasawarddhana, memiliki tiga orang putra, yaitu Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma, kedua Bhre Wêngkêr III Girisyawarddhana Dyah Suryawikrama dan Bhre Pandhan Salas III Singawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa.

Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma juga dikenal sebagai Sang Sinagara, memiliki empat orang putra yaitu Bhre Kahuripan VII Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya, Bhre Mataram V Girindrawardhana Dyah Wijayakarana, Bhre Pamotan II dan Bhre Kêling IV atau Bhre Krêtabhumi.

Sepeninggal Rajasawarddhana Sang Sinagara pada tahun 1453 dan dicandikan di Sêpang, terjadi perebutan tahta antara putra-putra Krêtawijaya dan Rajasawarddhana Sang Sinagara. Terjadi ketegangan sehingga tahta kosong selama tiga tahun (1453-1456 M). Baru pada tahun 1456, terpilih sebagai Raja adalah Bhre Wêngkêr II, putra sulung Krêtawijaya yang lantas mengambil gelar Hyang Purwa Wisesa. Memerintah hingga tahun 1466 Masehi, wafat dan dicandikan di Puri. Sepeninggalnya, seharusnya tahta dilimpahkan kepada keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara, namun berhasil diduduki oleh putra bungsu Krêtawijaya, adik Rajasawarddhana Sang Sinagara, yaitu Bhre Pandhan Salas III atau Singawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa. Selama pemerintahannya, keadaan istana terus terjadi ketegangan, sehingga baru dua tahun menduduki tahta, Bhre Pandhan Salas III meninggalkan istana. Lantas siapakah yang mengantikannya sebagai Raja Majapahit? Apakah keturunan Krêtawijaya atau Rajasawarddhana Sang Sinagara? Penuturan Pararaton terhenti sampai disini.

Baru pada tahun 1486 Masehi, Sri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya mengeluarkan prasasti Jiyu yang berisi maklumat bahwa dirinya adalah penguasa Wilwatikta (Majapahit), Janggala dan Kadhiri. Disana juga menguraikan pengukuhan ulang hadiah tanah kepada Bharmaraja Ganggadhara yang pernah dilakukan oleh Singawarddhana. Ini membuktikan, bahwa sosok Singawarddhana berkuasa menghadiahkan tanah kepada seorang Brahmana, dan tentunyalah dia seorang Raja. Dalam prasasti Jiyu juga ditegaskan, pada tahun 1486 tersebut adalah bertepatan duabelas tahun wafatnya Singawarddhana sehingga Sri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya mengadakan upacara Sraddha.

Maka jelaslah sudah, setelah kepergian Bhre Pandhan Salas III, tahta Majapahit berhasil diduduki oleh Singawarddhana hingga tahun 1474 Masehi. Siapakah Singawarddhana? Bisa jadi, Singawarddhana adalah kakak kandung Girindrawarddhana, dan keduanya adalah putra Bhre Pandhan Salas III yang pernah meninggalkan istana Majapahit. Dari sini bisa disimpulkan, setelah kepergian Bhre Pandhan Salas III, tahta lantas direbut oleh Singawarddhana sebelum dikuasai oleh keturunan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakusuma. Lantas siapakah yang menggantikan Singawarddhana? Tak ada keterangan yang bisa didapatkan. Namun dari catatan China yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong Semarang oleh Residen Poortman pada tahun 1928, diketahui bahwa Raja Majapahit yang memerintah sebelum tahun 1478 Masehi adalah Kung Ta Bu Mi atau Bhre Krêtabhumi. Siapakah sosok ini? Dalam Pararaton nama Krêtabhumi disebut jelas sebagai putra Rajasawarddhana Sang Sinagara.

Dari sini bisa disumpulkan, semenjak kekosongan tahta Majapahit pada tahun 1453-1456, keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara baru bisa memerintah pada tahun 1474 dan berakhir pada tahun 1478 Masehi. Masa akhir pemerintahan Krêtabhumi inilah yang terus menjadi polemik berkepanjangan hingga sekarang. Menurut kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, kejatuhan Krêtabhumi diakibatkan serangan tentara Demak Bintara. Namun ada juga yang menolak mentah-mentah data ini dan memunculkan hipotesa bahwa Sri Girindrawarddhana yang telah mengeluarkan prasasti Jiyu diatas adalah yang menyerang Krêtabhumi. Hipotesa ini bisa dimaklumi karena jika hal itu benar, maka Jim Bun atau Raden Patah sebagai Adipati Demak yang notabene adalah salah satu pemimpin masyarakat Islam diabad 15, selamat dari tuduhan durhaka kepada Krêtabhumi, ayah kandungnya sendiri yang beragama Siwa Buddha (Buda). Pengkambing hitaman sosok Girindrawarddhana ini terus digulirkan hingga sekarang. Walau cerita tutur masyarakat dari berbagai daerah jelas-jelas menunjukkan Raden Patah-lah yang berhasil menjebol Majapahit, didukung pula oleh berita dalam berbagai Babad Jawa dan juga berita dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, Semarang, namun seolah-olah, data ini hendak ditenggelamkan begitu saja. Girindrawarddhana tetap dianggap bersalah walau data-data belumlah lengkap untuk menghakimi sosoknya.

Salah satu berita yang termuat dalam Prasasti Petak menyebutkan Kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“Kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang berhadapan dimedan perang melawan Majapahit”).  Menyiratkan ada penyerangan ke Majapahit oleh sosok Sang Munggwing Jinggan. Siapakah Sang Munggwing Jinggan ini? Diperkiraan, Sang Munggwing Jinggan adalah kakak sulung Bhre Krêtabhumi, yaitu Bhre Kahuripan VII Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya. Lantas siapakah yang diserang? Tentunya adalah sosok yang pernah merebut tahta Majapahit, yaitu Bhre Pandhan Salas III. Namun bukankah Bhre Pandhan Salas III telah meninggalkan istana semenjak tahun 1468? Padahal prasasti Petak terbit sekitar tahun 1486, seusia dengan prasasti Jiyu? Berarti penyerangan itu terjadi tak jauh dari tahun 1486 tersebut. Dan yang menjadi pertanyaan, mengapa yang menerbitkan malah putra Bhre Pandhan Salas III yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang terhitung rival dari Sang Munggwing Jinggan?

Hal ini menjadi terjawab manakala dicompare dengan informasi dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang. Bahwasanya yang diserang oleh Sang Munggwing Jinggan, adalah sosok Raja boneka Majapahit yang diangkat oleh pemerintahan Demak Bintara, Nyo Lay Wa semenjak tahun 1478 Masehi! Dalam kronik tersebut jelas-jelas menyebutkan, bahwa pemerintahan Nyo Lay Wa memang berakhir pada tahun 1486, sesuai dengan tahun dimana prasasti Jiyu dan Petak dikeluarkan! Dan dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang itu pula, didapatkan informasi, bahwa Demak telah menginvasi Majapahit pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi, delapan tahun sebelum penyerangan Sang Munggwing Jinggan yang mungkin bersekutu dengan keluarga Bhre Pandhan Salas III !

Dan menjadi sangat masuk akal jika Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya lantas mengeluarkan sebuah maklumat bahwa dirinyalah sekarang Raja Majapahit yang kembali terbebas dari dominasi Demak, walau wilayahnya sekarang hanya sebatas Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Sehingga dia memakai gelar (abhiseka) Sri Wilwatikta Jenggala Kediri Prabhu Natha

Kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang menguraikan, bahwa pada tahun 1478, Jim Bun, putra selir Kung Ta Bu Mi, Raja Majapahit, menyerang istana Majapahit dan memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Setelah berhasil menjatuhkan Majapahit, diangkatlah seorang Raja bawahan di Majapahit bernama Nyo Lay Wa. Yang dimaksud dengan Kung Ta Bu Mi, tak lain adalah Bhre Krêtabhumi. Ini berarti, setelah Bhre Krêtabhumi berakhir masa pemerintahannya pada tahun 1478, Majapahit memang sudah kehilangan kedaulatannya dan menjadi wilayah Demak Bintara. Dan semenjak saat itu, Raja yang berkuasa di Majapahit adalah peranakan China bernama Nyo Lay Wa (1478-1486 M)

Disebutkan disana dalam catatan tersebut, Nyo Lay Wa tewas dalam sebuah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1486. Dan disusul kemudian dengan keluarnya prasasti Jiyu oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya seperti telah disebutkan diatas, yang merupakan sebuah maklumat kedaulatan Majapahit walau wilayahnya kini sebatas Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Ditambah pula prasasti Petak yang menceritakan kehebatan Sang Mungwing Jinggan saat menggempur istana Majapahit hingga berhasil direbut kembali dari kekuasaan Demak Bintara, walau Sang Munggwing Jinggan, akhirnya gugur dimedan pertempuran.

Dan berlanjut, dalam kronik Tionghwa dicatat bahwa pada tahun 1517, Demak kembali melakukan penyerangan ke Majapahit yang sudah menyatakan lepas dari kekuasaannya. Penyerangan ini dipimpin oleh Yat Sun, putra Jim Bun. Raja Majapahit saat itu disebut dengan nama Pa Bu Ta La. Yat Sun tak lain adalah Adipati Yunus yang dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor karena pernah menyerang ke wilayah utara, yaitu Malaka untuk menggempur Portugis pada tahun 1512, setahun setelah Malaka dikuasai Portugis. Pada prasasti Jiyu jelas ditemukan bahwa Girindrawarddhana menyebut dirinya sebagai Prabhu Natha. Pa Bu Ta La yang dimaksud dalam kronik Tionghwa jelas tak lain adalah Prabhu Natha alias Sri Wilwatikta Janggala Kadhiri alias Girindrawardhana Dyah Ranawijaya! Yang menjadi pertanyaan, mengapa penyerangan Demak ini begitu terlambat semenjak direbutnya tahta Majapahit dari tangan Nyo Lay Wa pada tahun 1486 dan baru diserang pada tahun 1517? Hal ini bisa dijawab bahwasanya, Demak sedang pontang-panting mengkonsolidasikan kekuatannya untuk menundukkan wilayah-wulayah Majapahit yang lain. Disamping juga membantu prajurid Cirebon dan Banten untuk menundukkan Pajajaran. Ditambah menghadapi kedatangan Portugis di Malaka. Konsentrasi Demak masih terfokus pada menyelamatkan wilayah sepanjang pesisir pantai utara yang strategis.

Majapahit berhasil ditundukkan untuk kedua kalinya. Pa Bu Ta La tidak dijatuhi hukuman, mengingat dia adalah menantu Kung Ta Bu Mie, masih saudara dengan Jim Bun. Namun kota dan istana Majapahit, habis dirampas oleh tentara Demak.

Dan pada tahun 1527, saat Demak diperintah oleh putra Jim Bun, Tung Ka Lo, kembali dia mengirimkan angkatan perang Demak dibawah pimpinan putranya Toh A Bo untuk membumi hangguskan Majapahit. Tung Ka Lo bisa diidentifikasi sebagai Sultan Demak ke tiga Trênggana, sedangkan Toh A Bo bisa diidentifikasi sebagai Pangeran Timur, putra Sultan sendiri. Pembumihangusan ini terkait usaha Pa Bu Ta La yang hendak mengadakan kerjasama dengan Portugis, melalui Pate Vira, seorang Adipati Tuban. Hal ini tercatat dalam catatan orang Portugis Suma Oriental. Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya. Inilah penyerangan ke tiga yang benar-benar melenyapkan Majapahit dari muka bumi.

Apa yang direkam semua Babad Jawa mengenai kehancuran Majapahit oleh serangan Demak, adalah benar. Sebuah peristiwa besar, peristiwa yang sanggup mengguncangkan kebanggaan orang Jawa, tentu saja akan terekam dalam dari generasi ke generasi. Dari pelosok timur hingga barat, semua cerita tutur Jawa yang kita dapati hingga saat ini, tak ada yang kontradiktif. Semua merujuk pada satu hal, bahwa Majapahit, Negara besar yang pernah ada di Jawa, hancur oleh serangan militant Islam Demak. Baru memasuki era berdirinya NKRI, wacana penolakan bermunculan dari mereka yang merasa terpojokkan. Dimana-mana, usaha untuk menghindarkan Demak sebagai kambing hitam terjadi. Dan Girindrawarddhana diposisikan sebagai pihak yang harus dipersalahkan. Darmagandhul, adalah salah satu serat yang mengadopsi ingatan kelam ini. Tuturan Darmagandhul, mengenai kehancuran Majapahit oleh Demak adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Beberapa keluarga bangsawan Bali, adalah bukti nyata bahwa pernah terjadi eksodus besar-besaran dari Jawa ke Bali akibat keguncangan politik tersebut. Suku terasing di kaki gunung Bromo, suku Tengger, juga merupakan keturunan dari mereka yang menolak masuk Islam. Cerita tutur leluhur mereka, Jaka Sêgêr dan Rara Antêng, yang mengungsi ke pedalaman Bromo akibat desakan tentara Demak, masih bisa kita dengar hingga sekarang.

Kisah seperti diatas lah yang “memungkinkan” mengapa sejarah kelam itu tidak dimasukan kedalam kurikulum pelajaran sejarah di sekolah…, mengenai peran dari orang-orang berdarah china juga salah satu factor penting, mengapa cerita sejarah ini dibiarkan teronggok di museum, atau dibiarkan tersimpan dinegeri orang, semua data-data penting berjumlah lebih dari 3 muatan penuh pedati lembu di usung dari San Poo Kong.. namun tak satu lembar pun di tuturkan kepada generasi muda era orde baru, ini benar-benar ironis, mengingat negeri ini mayoritas beragama islam, sedangkan fakta mengatakan hancurnya Negara adidaya pertama di nusantara dan di Pulau Jawa pada khususnya, yang notabene menjadi kebanggaan orang-orang jawa telah di kubur dan di hancur leburkan oleh kebudayaan islam yang fanatic dan jelas tidak ingin berdampingan dengan budaya lain……



Sekarang jaman sudah berganti, fakta-fakata sejarah semacam ini sedikit demi sedikit mulai terangkat ke permukaan, kisah-kisah seperti ini sungguh sangat disayangkan jikalau gilang dan pupus disuatu generasi dan generasi berikutnya tidak tahu sama sekali, semoga saja kita bisa melestarikan sejarah yang merupakan ruang waktu yang sangat berharga dan tidak mungkin akan terulang kembali…………… (Dede Loo 05/12/2011/Dari Berbagai Sumber)

Kamis, 13 Oktober 2011

Legenda Ular Putih

白蛇传
Siluman Ular Putih
Legenda Seberang Yang Mendarah Daging di Bumi Nusantara

By Dede Loo

Seekor ular putih yang terobsesi menjadi manusia, setelah bertapa selama 1000 tahun dan meminum pil ramuan dewa, akhirnya dia berubah menjadi seorang gadis cantik yang bernama Bai Zhu Zhuan atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Pai Shu Chen. Bai Zhu Zhuan membaur ke dunia manusia yang kemudian bertemu dengan rekan sejenisnya sesama siluman, dialah siluman ular hijau yang selalu menjelma menjadi gadis cantik pengawal Bai Zhu Zhuan yaitu Xiao Qing.

Bai Zhu Zhuan dan Xiao Qing bertemu dengan seorang lelaki muda nan pandai dalam pengobatan yang bernama Xu Xian atau Han Wen atau juga Han Bun. Mereka menikah dan hidup bahagia, namun Han Wen tidak mengetahui bahwa istrinya adalah seekor siluman ular putih. Suatu saat datanglah seorang pendeta berhati jahat yang suka membasmi siluman, dia adalah Fa Hai atau Hoat Hay. Pendeta Fa Hai mempengaruhi Han Wen dengan memberikan berbagai mantra pengusir siluman, namun suami Bai Zhu Zhuan ini tidak pernah tahu bahwa istrinya lah siluman yang di incar Fa Hai.  

                             
                             (Legenda Siluman Ular Putih Dalam Lukisan)

Suatu saat Fa Hai dan Bai Zhu Zhuan bertempur, karena sedang hamil siluman ular cantik ini pun lemah dan kalah, berdalih berdosa besar, Fa Hai menghukum Bai Zhu Zhuan di dalam pagoda kuil Qin Shan di tepi danau barat (Xi Hu). Setelah melahirkan putranya She Lin, Bai Zhu Zhuan yang masih terkurung dalam pagoda bertapa, suatu saat muncul Dewi Kwan Yin, kemudian semua terungkap, karena menurut Kwan In, Bai Zhu Zhuan dan Xiao Qing telah banyak membantu orang juga, maka hukuman atas kesalahan mereka pun di cabut, akhir cerita Bai Zhu Zhuan dan seluruh kelurganya di bawa ke langit untuk hidup di dunia dewa-dewi.

Itulah ringkasan cerita legenda dari negeri tirai bambu yang memiliki judul “Bai Niang Zhi” atau “Bai Zhu Zhuan”. Sebetulnya legenda yang sangat terkenal ini adalah sebuah karangan tulisan yang dibuat oleh seorang sastrawan pada zaman Dynasti Tang. Cerita ini teramat popular kala itu, sehingga ceritanya mengalir menjadi bermacam bentuk, cerita ini ada di lirik lagu, puisi, lukisan dan pentas opera.

Hari berganti hari, tahun berganti abad hingga ke masa modern sekarang ini, cerita legenda siluman ular putih ini masih sering terdengar bahkan selalu terdengar hingga saat ini. Kisahnya pun bisa kita nikmati dan cermati bukan hanya dari sekedar karya tulisan atau lukisan, melainkan sudah disajikan dalam bentuk yang lebih dramatis yaitu gambar bergerak dan bersuara, film. Sebetulnya saya sendiri kurang begitu mengerti, kapan pertama kali cerita legenda ini dibuat film. Namun dari beberapa sumber yang saya baca memang agak mengejutkan saya. Pada tahun 1934 seorang sineas Indonesia yang bernama The Teng Chun mengangkat cerita legenda Bai Zhu Zhuan ini ke layar perak, dengan judul “Ouw Peh Tjoa” selain judul itu film ini juga memiliki judul alias yaitu “Siloeman Oelar Poeti En Item”. Cerita Bai Zhu Zhuan ini di produksi oleh Java Industial Film pada 1934 dengan gambar hitam putih dan menggunakan bahasa Indonesia tentunya karena film ini adalah film Indonesia asli, walau cerita yang diangkat adalah legenda China daratan. Yang menarik dalam poster film “Ouw Peh Tjoa” ini terdapat tulisan “100% Bitjara Melajoe” yang mungkin memiliki maksud untuk menarik semua kalangan pergi ke bioskop kala itu untuk menonton film ini, karena film ini walau dimainkan oleh actor dan aktris bermata sipit, berkostum mandarin namun menggunakan bahasa nasional yaitu Indonesia. Film ini  bisa dibilang sukses kala itu karena beberapa tahun kemudian sekitar 1936 The Teng Chun dengan perusahaan pribadinya yaitu Java Industrial Film kembali mengangkat cerita siluman ular ini ke layar perak dengan membuat sequelnya yaitu film “Anaknja Siloeman Oelar Poeti”, tentu saja cerita ini menceritakan kisah Bai Zhu Zhuan yang sudah menikah dengan Xu Han Wen dan dikaruniai seoarang putera.

            
                                  (Inilah poster film “Ouw Peh Tjoa” tahun 1934)

Saya sangat yakin sekali di negeri asalnya China, cerita ini pasti juga sudah diangkat ke bioskop dari berpuluh tahun yang lalu, namun yang paling bikin demam di Nusantara ini adalah sebuah sinetron serial buatan Taiwan yang berjudul 新白娘子傳奇 (Xin Bai Niang Zhu Zhuan Qi / The New White Snake Legend). Serial ini dibuat oleh sebuah production house asal Taiwan pada tahun 1992, tentu saja sebelum-sebelumnya cerita ini sudah pernah dibuat, tetapi selalu mengalami improvement setiap kali masa berganti. Dalam cerita ini Bai Zhu Zhuan diperankan oleh wanita yang memang tidak belia lagi namu pas sekali yaitu Zao Ya Zhi atau Anggi Chiu, wanita mantan Miss Hongkong ini sangat cocok memerankan siluman ular yang berwujud wanita lembut nan cantik namun pandai bersilat, sementara itu suaminya Xu Han Wen tidak diperankan oleh serang lelaki, ahkan tetapi seorang aktris yang tidak kalah cantiknya yaitu Ye Thung atau Cecillia Yip. Pemilihan pemeran jatuh ke seorang aktris wanita mungkin bermaksud agar dapat lebih menghidupkan tokoh Han Wen yang terkenal lemah lembut, lugu dan penurut, karena dalam White Snake Legend ini suami Siluman Ular Putih digambarkan sangat lemah secara fisik bahkan tidak mengerti ilmu bela diri sama sekali.

Serial ini tayang di Indonesia pada tahun 1994, dengan dialog yang sangat khas dan di sukai ibu-ibu yaitu “suamiku… istriku..”. Ternyata ulah SCTV kala itu membuahkan sesuatu yang manis sekali, serial ini booming dan fenomenal dikala itu. Dialog khasnya tadi, lagu tema dari serial ini pun laris manis terjual dalam bentuk kaset yang kala itu di jual dengan harga Rp.7500, bahkan beberapa lagu Indonesia pun mengadaptasi dari lagu-lagu soundtract serial ini. Saking suksesnya baru beberapa waktu selesai penayangan, serial ini kembali ditayangkan oleh stasiun televisi yang sama yaitu SCTV. Pada awalnya White Snake Legend tayang seminggu sekali setiap hari selasa jam 19.30 Wib, kemudian setelah tamat ditayangkan kembali pada hari senin di waktu yang sama. Kemudian setelah berhasil menamatkan episode terakhirnya, siluman ini kembali muncul setiap sabtu pukul 14.30 Wib. Keberhasilan serial White Snake Legend ini bahkan sempat membuat SCTV ingin mempertemukan pengisi suara Bai Zhu Zhuan dalam versi dubbing indonesia yaitu Via dengan pemeran asli Anggi Chiu alias Zao Ya Zhi, namun rencana jumpa fans ini gagal entah kenapa.

           
                                     (White Snake Legend Tayang Di SCTV 1994)

Untuk selanjutnya cerita yang sama dalam kemasan yang lain pun bermunculan, antara lain versi Singapura atau bahkan versi hongkong yang hampir setiap tahun membuat ulang, bahkan baru-baru ini actor kawakan Jet Lee juga memerankan Fa Hai dalam film layar lebar yang mengangkat legenda ular putih ini.

Sebuah karya yang bagus memang akan terus abadi sampai kapanpun dan menjadi sebuah legenda atau bahan cerita ke anak cucu seperti kisah dua siluman ular ini. Keberadaan etnis Tiong Hoa yang menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia membuat kisah-kisah klasik dari negeri tirai bambu ini pun ikut menyeberangi lautan luas dan menggema menjadi buah bibir dan karya baru di negeri orang, tidak terkecuali dengan Si Ular Putih ini. Seperti sudah saya ulas di atas, di negeri ini saja cerita ini sudah terdengar dari zaman kerajaan dahulu kala. Semua cerita dari leluhur kita akan terus lestari apabila kita selaku generasi mudanya bisa menjaganya dan rajin untuk membuatnya terus hidup dengan cara apapun, sekarang legenda dari luar negeri ini bahkan sudah sangat mendarah daging di nusantara, mungkin bagi kita yang keturunan Tiong Hoa sudah mendengarnya dari kecil dulu, tentapi bagi masyarakat asli mungkin tau sejak ada tayangan serial white snake legend di SCTV tahun 1994 silam. Bahkan cerita ini sempat di buat versi kartun oleh anak-anak bangsa ini pada awal 2000an dan di paketkan dalam wadah yang berjudul legenda indonesia. Ini membuktikan kalau legenda ini pun diterima di negeri ini, teater koma sudah berkali-kali mengangkat cerita ini ke atas panggung teater, bahkan sinetron indonesia nya juga ada yaitu “Legenda Ular Putih” Produksi Sinemart tahun 2006 lalu.

Bagaimana dengan legenda asli negeri ini… Timun Mas…, Sangkuriang, Bawang-merah bawang putih… apakah akan terdengar hingga ke negeri manca, atau malah dinegeri sendiripun akan sirna terlindas oleh game online atau cerita legenda luar yang di kemas dalam paket film yang sarat akan effect CGI? Ini pertanyaan yang menjadi tanggung jawab kita semua. (Dede Loo 2011/10/13)

Selasa, 11 Oktober 2011

Romantika Bahasa Ngapak-Ngapak

Bahasa Banyumasan
Bagaimana Nasibmu 30 Tahun Mendatang?

By Dede Loo

“Limbeyane nyempal blarak.. Kartisem, goli mlaku pating kradak ora teyeng kalem… liwat ngarep koplak menyak kulit gedhang keplarak, kepaduk ngrungkebi becak….” (Lambaiannya seperti pelepah kelapa yang sudah patah, Kartisem kalau jalan berisik tidak bisa diam.. lewat depan komplek menginjak kulit pisang terpeleset dan jatuh tengkurep di becak…), itulah sepenggal lirik lagu “Nini Kartisem” yang dipopulerkan oleh Sopsan, sebuah group campur sari dari Banyumas. Untuk saya pribadi orang Cilacap yang sememangnya akrab dan menggunakan bahasa ini setiap hari saja sempat sangat geli dan tertawa mendengar lagu ini, apa lagi orang yang memang berasal dari daerah yang tidak menggunakan dialek Banyumas yang mendengarnya.

Bahasa Banyumasan ini atau dikenal dengan “bahasa ngapak-ngapak” digunakan oleh masyarakat jawa bagian barat, tapi bukan berarti orang jawa barat yang terbiasa berbahasa sunda lho. Dalam hal ini adalah beberapa bagian jawa tengah bagian barat yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu selatan (Purwokerto, Banyumas, Cilacap, Kroya, Gombong kebumen dan sekitarnya), bagian barat (Cirebon, indramayu, sebagian Ciamis dan sekitarnya), serta bagian Utara (Brebes, Tegal, Pemalang dan sekitarnya). Bahkan ada yang aneh, yaitu masyarakat Banten utara yang memang memiliki kesamaan yang sangat dekat dalam berkomunikasi sehari-hari yaitu dengan menggunakan bahasa mereka yang mirip dengan bahasa Banyumasan juga. Ini sangat menarik sekali jikalau dikaitkan dengan sejarah, pada masa lalu banyak orang dari daerah banyumas dan sekitarnya yang di buang ke daerah banten, mereka beranak pinak dan menempati beberapa bagian banten masa itu sehingga sekarang, dengan demikian dibeberapa bagian propinsi yang dulu ikut Tangerang ini terdapat kampung-kampung yang menggunakan bahasa pangenyongan juga. Jikalau dilihat dari jarak yang lebih dari 300 Km itu memang sangat mengejutkan yaaaa……

Sebenernya ada apa, dan mengapa dialek Banyumasan ini selalu menjadi bahan tertawaan apabila terdengar? Sehingga para penggunanya selalu berusaha menutupinya dikala berada di kerumunan orang-orang yang berbahasa selain Banyumasan? Sungguh sangat ironi dan menghawatirkan, padahal sebuah dialek adalah identitas suatu etnik, karena dialek itu adalah asset kekayaan suatu etnik, orang lain akan mengenal kita dari etnik mana bukan karena kulit atau penampilan (kecuali etnik tertentu yang memang memiliki penampilan khas, seperti Tiong Hoa yang putih dan mata sipit, atau etnik papua yang Hitam dan bermuka negrito) melainkan bahasa atau dialek yang kita ucapkan, orang yang berbicara dengan logat sunda tentu sangat jelas dia berasal dari jawa barat dan sekitarnya, dan apabila menggunakan bahasa jawa baku itu sudah pasti berasal dari daerah Yogyakarta ke timur, dan tentu saja yang berbicara Ngapak-ngapak itu sudah pasti dari Banyumas, Cilacap dan sekitarnya.

Bahasa Banyumasan ini kalau ditelaah lebih dalam mungkin adalah bahasa yang paling memiliki hubungan langsung dengan bahasa jawa kuno/bahasa kawi. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa kosa kata yang ada di dalamnya, seperti penggunaan kata “inyong” untuk sebutan “saya” dalam bahasa Banyumas, ini tidak jauh berbeda dengan bahawa jawa kuno yang menyebut “Ingwang” pada sekitar tahun 900 M sampai 1300 M, atau kata “Ingong”  pada tahun 1300 M sampai 1600 M yang memiliki arti sama yaitu “saya”. Selain itu juga ada kata “Gandul” yang memiliki arti papaya atau “Rika” yang memiliki arti “kamu” yang juga biasa digunakan pada zaman Jawa kuno dulu.

Lalu mengapa bahasa Banyumasan itu dianggap sebagai bahasa orang kelas bawah bila dibandingkan dengan bahasa Jawa lainya, apa karena pengucapannya yang khas? Ternyata bukan. Dahulu pada masa kerajaan, pusat pemerintahan terletak di Yogyakarta dan sekitarnya, jadi di daerah jawa tengah bagian barat tidak ada kerajaan, termasuk dareah Banyumas dan sekitarnya, sehingga daerah ini menjadi bagian dari kerajaan yang berada di Yogyakarta tersebut. Pada masa itu tentu saja sering ada utusan atau pesuruh yang datang dari pusat kota untuk sekedar meninjau atau menyampaikan amanat penting ke kepala-kepala pemerintahan di daerah Banyumas. Pesuruh/utusan kerajaan itu biasa disebut “Gandhek” oleh orang-orang setempat, karena pesuruh atau “gandhek” tersebut berasal dari jawa ketimuran maka bahasa jawa yang dipakai adala bahasa jawa yang baku, yang biasa disebut jawa wetanan, atau yang kini digunakan oleh masyarakat Yogyakarta, solo dan sekitarnya. Oleh sebab itu penduduk jawa Banyumas selalu menyebut kata “bandhek” untuk bahasa jawa wetanan tadi, karena berasal dari kata “Gandhek” tersebut. Pada masa-masa itu karena kebanyakan pejabat tinggi menggunakan bahasa jawa baku/wetanan maka orang banyumasan merasa selalu mengalah, dikarenakan menganggap diri mereka adalah kaum yang bertengger dibawahnya.

Pada masa sekarang ini pun seringkali terbawa oleh kebiasaan masa lalu itu, dimana orang Banyumas atau disebut sebagai orang panginyongan seringkali merasa malu atau merasa terpencilkan bila menggunakan dialek ini di muka masyarakat umum, terutama apabila berada di daerah yang tidak menggunakan bahasa Banyumasan, seperti di Jakarta atau tempat lain. Bahkan seringkali orang-orang yang berbahasa banyumasan pada masa ini pun masih diperlakukan seperti masa-masa ratusan tahun yang lalu, orang-orang yang tidak menggunakan bahasa ini terkadang mengkait-kaitkan  dengan warteg (warung tegal) atau dengan para pembantu rumah tangga. Ini terlihat sekali dengan tayangan-tayangan televisi yang memang mau tidak mau akan menjadi perhatian public, dan munkin menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat dirubah, kalau pemilik warteg ya pasti orang-orang jawa tengah bagian barat, atau pembantu rumah tangga ya pasti ngomongnya pake bahasa ngapak-ngapak, saya belum pernah lihat di sinetron atau filem ada peran pembantu rumah tangga orang Batak atau orang dari suku lain, ada sih…… tapi tidak sebanyak orang-orang Jawa yang dipajang sebagai pembantu atau babu, terutama jawa panginyongan tadi.

Bahkan saya pernah berdialog dengan orang yang berasal dari dareah Sumatra utara, dia sendiri keturunan Jawa, namun dia berkata di mata masyarakat luas di sana orang-orang jawa dari jaman dahulu tidak mementingkan pendidikan untuk anak-anaknya, selalu memiliki banyak anak dan anak-anak memiliki pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan orang tuanya, apa bila orang tua petani maka orang tua itu akan berpikir anaknya akan jadi petani seperti dirinya, jadi seperti hidup yang akan terus berulang tanpa perubahan yang berarti. Jarang sekali orang jawa yang menginginkan perubahan terhadap keturunannya kala itu. Apalagi orang jawa memiliki semboyan “banyak anak banyak rejeki” atau “makan gak makan asal kumpul” atau “alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan yang penting terlaksana), memang kalau ditelaah lebih dalam semboyan itu mencermikan sikap pasrah yang cenderung pasif, dimana ini terlihat seperti apapun yang terjadi ya terjadi saja, mereka tidak akan menentang atau berusaha bangkit. Parahnya yang memiliki sifat seperti itu, atau masyarakat jawa yang menganut prinsip itu adalah orang jawa pangeyongan di kebanyakannya, ini juga terbukti dimana bila di lihat dari latar belakang pendidikan dan peraih gelar sarjana kebanyakan orang-orang jawa wetanan,  tidak demikian dengan daerah Cilacap, banyumas dan sekitarnya, namun keadaan sudah sedikit berubah akhir-akhir ini. Tetapi tidak menutup kemungkinan masih banyak sekali masyarakat yang menganut prinsip tersebut, apalagi masyarakat yang tinggal jauh diperkampungan atau pesisir.

Ini sangat kontras sekali dengan orang-orang dari suku lain seperti Batak atau Padang apa lagi dengan bangsa keturunan. Saya mohon maaf bukan mau membanding-bandingkan suku, namun hanya sebagai pandangan saja, suku batak memiliki watak keras dan ambisius, mereka juga sangat mementingkan pendidikan, cita-cita yang sangat popular tentu saja pengacara, dan menjadi pengacara mana bisa hanya tamat SD, karakter orang-orang batak juga tegas, mereka tidak akan tinggal diam apabila mendapat perlakuan buruk, ini sangat berbeda dengan masyarakat jawa. Oh ya seperti saya ungkap diatas dalam tayangan televisi peran pengacara biasa diperankan oleh orang batak dan peran pembantu diperankan oleh orang jawa, terutama jawa panginyongan.

Itu semua adalah fakta yang ada, dimana masyarakat Banyumas masih merasa dirinya itu lebih rendah dari masyarakat jawa bagian lain atau bahkan dari suku lain, walau jaman sudah berganti namun adat tersebut atau karakter yang merasa dirinya itu hanya sekedar hamba seperti phobia dan trauma hingga ke anak cucu.

Dalam pergaulan modern seperti ini, seperti saya sendiri yang memang dilahirkan dan di besarkan di Kroya Cilacap, tentu saja sangat mengerti dan fasih dalam mendengar dan mengucapkan kata-kata dalam dialek banyumasan ini, namun memang saya sendiri pun merasa sungkan sekali untuk mengucapkan jikalau dengan teman atau orang yang bukan berasal dari daerah saya, kekawatiran akan di tertawakan atau direndahkan selalu muncul dalam benak saya. Yang lebih parah lagi bertahun-tahun saya tinggal di luar kampung halaman saya, apa bila saya pulang saya dapati hanya orang-orang tua saja yang berbicara menggunakan dialek banyumasan asli, namun untuk anak-anak belasan hingga 25 tahunan mereka menggunakan bahasa indonesia yang beraroma banyumasan. Seperti di toko atau dipasar, pelayan atau penjual dagangan itu menggunakan bahasa indonesia.

Ini salah siapa? Jikalau kita lihat ke masa lalu, apa kita harus menyalahkan nenek moyang kita dulu?, atau kita sendiri yang memang tidak pandai merubah nasib. Dalam dunia pendidikan juga turut berperan, kita ingat saja jaman SD dan SMP dulu, muatan local yaitu pelajaran Bahasa Dareah yang kita pelajari adalah bahasa Jawa baku yang biasa dipakai di Yogyakarta, solo dan sekitarnya, namun bahasa asli Banyumasan atau bahasa pangenyongan atau bahasa ngapak-ngapak tidak ada mata pelajarannya, semua lagu daerah jawa yang di ajarkan juga tidak satupun menggunakan bahasa dareah Banyumasan. Bahkan saya pribadi mendengar ada lagu berbahasa banyumas ya lagu “Nini Kartisem” itu tadi, sebelumnya munkin lagu-lagu seperti “kembang kilaras” atau “waru doyong” yang sudah keburu di cap sebagai lagu cirebonan.

Ini sungguh sangat menghawatirkan, padahal lidah dari orang-orang jawa banyumasan ini adalah yang paling flexible dibandingkan dengan lidah dari jawa bagian lain, saya sendiri tidak pernah ada yang menyangaka kalau bahasa asal saya adalah bahasa ngapak-ngapak, dibandingkan dengan siapa saja yang berasal dari dareah jawa wetanan hingga Surabaya dan sekitarnya dimanapun dia tinggal, selama apapun pasti dialek asal masih terdengar dengan jelas. Namun tidak untuk orang-orang dari jawa banyumas, lidah kita akan fasih sefasih orang asli bahasa tersebut, kita bisa bicara menggunakan bahasa Inggris tanpa “mendhok” jawa, atau bahasa Mandarin dengan bagus seperti orang Taiwan. Lihat para TKW yang pulang dari Taiwan atau Hongkong, mereka sangat fasih dan tidak kelihatan sekali bahasa ngapaknya jika sedang bertutur dalam bahasa china. Ini merupakan suatu bukti bahwa masyarakat banyumasan bisa untuk berbaur dengan bangsa lain tanpa harus merendahkan diri, tapi bisa di sejajarkan. Keadaan ini seperti dilemma, di satu sisi ini adalah hal yang bagus dan positif karena lidah masyarkat banyumasan ini bisa beradaptasi dengan bahasa manapun, namu di sisisi lain timbul kekhawatiran jikalau nanti semua masyarakat banyumasan meninggalkan bahasanya maka bisa-bisa beberapa puluh tahun kedepan sudah tidak ada lagi dialek yang dianggap sebagai keturunan terdekat dari bahasa jawa kuno ini.

Harapan kita semua, apa yang sudah kita miliki seharusnya tidak hilang, terjual atau tergadaikan, begitu pula dengan dialek kedaerahan yang ada di Nusantara ini, teramat banyak, dan itu adalah kekayaan yang tidak ternilai. Peran serta semua pihak memang sangat diperlukan, terutama pemerintah dalam hal ini depertmen pendidikan dan juga kebudayaan. Masyarakat banyumasan sendiri juga kini sudah tiba saatnya untuk bangun dan sadar bahwa tidak ada lagi ancaman dari manapun, hilangkan semua trauma dan phobia, kita adalah sama dan sejajar dengan etnik lain dibawah paying Nusantara ini.

Mas karo mbok ayune kabeh, aja pada rikuh-rikuh lah angger arep pada ngomong karo basa banyumasan, wong pada ngguyu ya ben jorna bae malah tambah rame mbokkk…. Ya.. uwis dingin ya.. kapan-kapan mengko inyong tek nulis maning sing akeh…. Salam wong pangenyongan. (Dede Loo 10/12/2011)